Masukan kata kunci di sini

Post Unggulan

Daftar Acara TV dan Stasiun TV dengan Rating Tertinggi Terbaru Bulan November

DAFTAR ACARA TV , Ini dia gaes daftar acara TV dan juga Stasiun dengan rating tertinggi bulan November. Semoga aja daftar acara tv kalian m...

Rating dan Acara TV


AGAN IPUL, Sehubungan dengan artikel kemarin yaitu  Daftar Acara TV Dengan Rating Tertinggi Bulan Oktober 2015 , penulis merasa penasaran bagaimana cara mereka mendapatkan rating, dan setelah penulis telusuri ternyata begini cara mereka menentukan rating pada sebuah acara TV baik itu Sinetron, FTV, dan lain sebagainya.

Beginilah Cara Pengukuran Rating Pada Sebuah Sinetron / film.

Bagi televisi, “kualitas” program diukur dari angka rating dan share yang pada akhirnya memengaruhi perolehan iklan. Televisi cenderung berkiblat pada rating dan share yang menentukan layak tidaknya suatu program acara. Rating menjadi faktor utama yang menentukan definisi selera audiens, mutu acara, serta menentukan keputusan dan strategi televisi. Baik-buruk atau nilai-nilai kepatutan menjadi nomor sekian dari hal-hal yang harus diperhatikan di luar pertimbangan rating.

Di tengah pemujaan rating, sistem rating mendapat banyak kritik tajam karena kelemahan-kelemahan praktik metodologis maupun teknis penyelenggaraan survei yang dilakukan. Secara mendasar, rating misalnya tidak mampu menggambarkan perilaku menonton secara mendalam, seberapa fokus pemirsa menonton acara tersebut, representasi penonton Indonesia yang hanya diukur dari sepuluh kota, teknik pengambilan sampel, dinamika pergantian responden (panel), dan sebagainya.

Pembacaan rating oleh pihak televisi, production house (PH), biro iklan-media planner, bahkan masyarakat pada umumnya juga mengalami distorsi makna. Kesalahpahaman ini berangkat dari realitas media yang selalu menonjolkan sudut pandang capaian angka rating dan share untuk menilai kesuksesan atau keberhasilan tayangan TV. Wacana yang keliru mengenai makna rating awalnya bukan hanya berpangkal pada kesalahan media, melainkan adanya dominasi cara pikir instan penyiaran yang diwakili programmer yang bertugas menyusun jadwal acara siaran sehari-hari serta praktisi sales-marketing yang menjual durasi acara kepada pengiklan. Pun dari sisi kredibilitas penyelenggara rating, yakni Nielsen juga sempat dipertanyakan, sebagaimana rumor yang sempat beredar di internet, terutama di milis-milis maupun weblog. Kontroversi yang mengemuka antara lain menyangkut independensi, validitas, ketidakjelasan kompetensi petugas survei-tenaga lapangan dari lembaga yang bersangkutan, sampai remeh temeh soal minimnya imbalan yang diberikan kepada responden, dan sebagainya.[2]

Kontroversi Seputar Rating: Mempertanyakan Akurasi


Jawaban dari pertanyaan ini adalah “iya, namun dengan keterbatasan”. Sebuah sampel penelitian tidak perlu terlalu banyak untuk bisa merepresentasikan keseluruhan populasi, selama sampel tersebut representatif. Dominick, dkk (2004: 280) memberi ilustrasi dengan analogi: seseorang yang pergi ke dokter untuk tes darah. Sang dokter tentu tidak perlu mengambil 2 liter darah dari tubuh orang tersebut. Yang diperlukan hanyalah beberapa milimeter saja. Namun dari jumlah yang sedikit itu sang dokter sudah bisa memperkirakan jumlah sel darah merah, tingkat kolesterol, kadar haemoglobin, dan lain-lain.


Perdebatan metodologis mengenai akurasi rating menjadi hal yang wajar mengingat secara mendasar terdapat dua model dasar dalam mempelajari audiens dan media, yakni model efek dan penggunaaan-gratifikasi. Kedua model ini memberikan penekanan yang berbeda. Model efek merujuk pada penekanan kekuatan “pesan” yang disampaikan media kepada audiens sehingga memposisikan audiens seolah-olah pasif, sementara model penggunaan dan gratifikasi memberi penekanan pada apa yang dilakukan audiens terhadap media. Ini menunjukkan otoritas dan kekuatan audiens dalam menggunakan media. Berdasarkan perbedaaan mendasar tersebut, dalam mempelajari riset audiens tidak cukup hanya dengan sistem rating yang mendasarkan pada metode penelitian kuantitatif, yang mengukur semua dimensi bedasarkan angka-angka. Untuk itu perlu digagas alternatif lain selain rating yang hanya berbicara mengenai angka-angka statistik yang kental beraroma positivistik.

Barangkali bukan sesuatu yang baru jika perdebatan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif muncul dengan mengemukakan kelebihan dan kekurangan masing-masing secara membabi buta (Webster, et, al. 2006: 3-4). Pada titik inilah sebenarnya kritik membangun yang direkomendasikan adalah memakai variasi atau menggabungkan keduanya. Menurut Susilaningtyas (2007:197), riset kuantitatif berguna untuk mendapakan gambaran objektif dengan cakupan responden (dalam hal ini audiens) yang lebih besar sebagai sampel dari sejumlah populasi, sementara riset kualitatif digunakan untuk memperdalam temuan empirik di lapangan. Pada beberapa kasus bisa diinterpretasikan sebagai teknik triangulasi, misalnya tindak lanjut dengan FGD yang secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan. Bukan FGD “pesanan” atau FGD “formalitas” yang selama ini banyak dijumpai dalam praktik riset audiens di negara kita.

Masa Depan Sistem Rating: Berpacu dengan Teknologi


Perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga penganalisis rating telah menggunakan teknologi maju untuk membantu mereka mengembangkan teknik pengukuran audiens. Meskipun demikian, teknologi-teknologi yang sudah pernah digunakan masih saja memiliki keterbatasan. Sebaga contoh sederhana, saat ini misalnya muncul tren newsticker, yakni berita berupa teks berjalan yang mau tidak mau menyebabkan akurasi prediksi perilaku menonton diragukan karena fokus penonton terpecah, apakah ia melihat acara utama atau melihat justru newsticker yang sedang berjalan. Hal kecil semacam ini belum terjawab oleh people meter.

Sebelumnya, masalah utama pada people meter adalah fakta bahwa orang– terutama anak-anak–bisa bosan atau lupa untuk memencet tombol pada remote. Untuk mengatasi masalah ini, Arbitron mengembangkan alat yang tidak memerlukan audiens untuk memencet tombol remote apapun. Alat ini adalah Portable People Meter (PPM), alat yang mengukur perilaku mendengarkan radio maupun menonton TV. PPM berbentuk seperti pager dan bisa dibawa kemana-mana, atau dapat diselipkan di ikat pinggang. Alat ini secara otomatis mendeteksi nada yang tak terdengar (inaudible tone) dilekatkan oleh stasiun TV, jaringan kabel, dan stasiun radio dalam sinyal audio-nya. Setiap harinya, responden harus meletakkan PPM dalam sebuah alas khusus yang bisa me-recharge PPM dan mengirimkan data kembali pada Arbitron untuk ditabulasi (Dominick.,dkk, 2004.


Video dari acara TV atau iklan yang sesuai dengan data di bagian atas diperlihatkan di bagian bawah layar. Grabix memungkinkan pengiklan melihat secara jelas berapa penonton yang tetap berada di depan TV saat iklan ditampilkan. Alat ini juga bisa membuat programmer acara mengetahui penurunan jumlah penonton setelah seorang bintang selesai diwawancara.

Jika tugas lembaga pensurvei hanya mengumpulkan data perilaku menonton televisi, yang paling penting selanjutnya adalah menyikapi data rating dengan membacanya secara proporsional. Selama ini yang awam terjadi adalah data rating tidak dikaitkan dengan konteks, diolah lagi, serta dikritisi, tapi diterima mentah-mentah. Seolah-olah jika ratingnya tinggi, maka menjadi jaminan semua orang menonton sutu program acara. Padahal sesungguhnya rating tidak berkorelasi dengan kualitas. Pembacaan rating bagi program acara yang dikatakan “unggulan”, “top”, atau “pendongkrak rating’’, adalah dalam konteks pendapatan iklan, bukan mutu suatu program acara. Pada akhirnya, kualitas suatu acara di televisi tetap bergantung pada kebijakan stasiun televisi dan penilaian masyarakat berdasarkan pada nilai-nilai dan norman-norma yang berlaku, bukan hanya rating.

Sumber : http://m.kaskus.co.id/thread/52d70b515acb17e508000259/cara-menghitung-rating-program-tv/

AGAN IPUL, Sehubungan dengan artikel kemarin yaitu  Daftar Acara TV Dengan Rating Tertinggi Bulan Oktober 2015 , penulis merasa penasaran bagaimana cara mereka mendapatkan rating, dan setelah penulis telusuri ternyata begini cara mereka menentukan rating pada sebuah acara TV baik itu Sinetron, FTV, dan lain sebagainya.

Beginilah Cara Pengukuran Rating Pada Sebuah Sinetron / film.

Bagi televisi, “kualitas” program diukur dari angka rating dan share yang pada akhirnya memengaruhi perolehan iklan. Televisi cenderung berkiblat pada rating dan share yang menentukan layak tidaknya suatu program acara. Rating menjadi faktor utama yang menentukan definisi selera audiens, mutu acara, serta menentukan keputusan dan strategi televisi. Baik-buruk atau nilai-nilai kepatutan menjadi nomor sekian dari hal-hal yang harus diperhatikan di luar pertimbangan rating.

Di tengah pemujaan rating, sistem rating mendapat banyak kritik tajam karena kelemahan-kelemahan praktik metodologis maupun teknis penyelenggaraan survei yang dilakukan. Secara mendasar, rating misalnya tidak mampu menggambarkan perilaku menonton secara mendalam, seberapa fokus pemirsa menonton acara tersebut, representasi penonton Indonesia yang hanya diukur dari sepuluh kota, teknik pengambilan sampel, dinamika pergantian responden (panel), dan sebagainya.

Pembacaan rating oleh pihak televisi, production house (PH), biro iklan-media planner, bahkan masyarakat pada umumnya juga mengalami distorsi makna. Kesalahpahaman ini berangkat dari realitas media yang selalu menonjolkan sudut pandang capaian angka rating dan share untuk menilai kesuksesan atau keberhasilan tayangan TV. Wacana yang keliru mengenai makna rating awalnya bukan hanya berpangkal pada kesalahan media, melainkan adanya dominasi cara pikir instan penyiaran yang diwakili programmer yang bertugas menyusun jadwal acara siaran sehari-hari serta praktisi sales-marketing yang menjual durasi acara kepada pengiklan. Pun dari sisi kredibilitas penyelenggara rating, yakni Nielsen juga sempat dipertanyakan, sebagaimana rumor yang sempat beredar di internet, terutama di milis-milis maupun weblog. Kontroversi yang mengemuka antara lain menyangkut independensi, validitas, ketidakjelasan kompetensi petugas survei-tenaga lapangan dari lembaga yang bersangkutan, sampai remeh temeh soal minimnya imbalan yang diberikan kepada responden, dan sebagainya.[2]

Kontroversi Seputar Rating: Mempertanyakan Akurasi


Jawaban dari pertanyaan ini adalah “iya, namun dengan keterbatasan”. Sebuah sampel penelitian tidak perlu terlalu banyak untuk bisa merepresentasikan keseluruhan populasi, selama sampel tersebut representatif. Dominick, dkk (2004: 280) memberi ilustrasi dengan analogi: seseorang yang pergi ke dokter untuk tes darah. Sang dokter tentu tidak perlu mengambil 2 liter darah dari tubuh orang tersebut. Yang diperlukan hanyalah beberapa milimeter saja. Namun dari jumlah yang sedikit itu sang dokter sudah bisa memperkirakan jumlah sel darah merah, tingkat kolesterol, kadar haemoglobin, dan lain-lain.


Perdebatan metodologis mengenai akurasi rating menjadi hal yang wajar mengingat secara mendasar terdapat dua model dasar dalam mempelajari audiens dan media, yakni model efek dan penggunaaan-gratifikasi. Kedua model ini memberikan penekanan yang berbeda. Model efek merujuk pada penekanan kekuatan “pesan” yang disampaikan media kepada audiens sehingga memposisikan audiens seolah-olah pasif, sementara model penggunaan dan gratifikasi memberi penekanan pada apa yang dilakukan audiens terhadap media. Ini menunjukkan otoritas dan kekuatan audiens dalam menggunakan media. Berdasarkan perbedaaan mendasar tersebut, dalam mempelajari riset audiens tidak cukup hanya dengan sistem rating yang mendasarkan pada metode penelitian kuantitatif, yang mengukur semua dimensi bedasarkan angka-angka. Untuk itu perlu digagas alternatif lain selain rating yang hanya berbicara mengenai angka-angka statistik yang kental beraroma positivistik.

Barangkali bukan sesuatu yang baru jika perdebatan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif muncul dengan mengemukakan kelebihan dan kekurangan masing-masing secara membabi buta (Webster, et, al. 2006: 3-4). Pada titik inilah sebenarnya kritik membangun yang direkomendasikan adalah memakai variasi atau menggabungkan keduanya. Menurut Susilaningtyas (2007:197), riset kuantitatif berguna untuk mendapakan gambaran objektif dengan cakupan responden (dalam hal ini audiens) yang lebih besar sebagai sampel dari sejumlah populasi, sementara riset kualitatif digunakan untuk memperdalam temuan empirik di lapangan. Pada beberapa kasus bisa diinterpretasikan sebagai teknik triangulasi, misalnya tindak lanjut dengan FGD yang secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan. Bukan FGD “pesanan” atau FGD “formalitas” yang selama ini banyak dijumpai dalam praktik riset audiens di negara kita.

Masa Depan Sistem Rating: Berpacu dengan Teknologi


Perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga penganalisis rating telah menggunakan teknologi maju untuk membantu mereka mengembangkan teknik pengukuran audiens. Meskipun demikian, teknologi-teknologi yang sudah pernah digunakan masih saja memiliki keterbatasan. Sebaga contoh sederhana, saat ini misalnya muncul tren newsticker, yakni berita berupa teks berjalan yang mau tidak mau menyebabkan akurasi prediksi perilaku menonton diragukan karena fokus penonton terpecah, apakah ia melihat acara utama atau melihat justru newsticker yang sedang berjalan. Hal kecil semacam ini belum terjawab oleh people meter.

Sebelumnya, masalah utama pada people meter adalah fakta bahwa orang– terutama anak-anak–bisa bosan atau lupa untuk memencet tombol pada remote. Untuk mengatasi masalah ini, Arbitron mengembangkan alat yang tidak memerlukan audiens untuk memencet tombol remote apapun. Alat ini adalah Portable People Meter (PPM), alat yang mengukur perilaku mendengarkan radio maupun menonton TV. PPM berbentuk seperti pager dan bisa dibawa kemana-mana, atau dapat diselipkan di ikat pinggang. Alat ini secara otomatis mendeteksi nada yang tak terdengar (inaudible tone) dilekatkan oleh stasiun TV, jaringan kabel, dan stasiun radio dalam sinyal audio-nya. Setiap harinya, responden harus meletakkan PPM dalam sebuah alas khusus yang bisa me-recharge PPM dan mengirimkan data kembali pada Arbitron untuk ditabulasi (Dominick.,dkk, 2004.


Video dari acara TV atau iklan yang sesuai dengan data di bagian atas diperlihatkan di bagian bawah layar. Grabix memungkinkan pengiklan melihat secara jelas berapa penonton yang tetap berada di depan TV saat iklan ditampilkan. Alat ini juga bisa membuat programmer acara mengetahui penurunan jumlah penonton setelah seorang bintang selesai diwawancara.

Jika tugas lembaga pensurvei hanya mengumpulkan data perilaku menonton televisi, yang paling penting selanjutnya adalah menyikapi data rating dengan membacanya secara proporsional. Selama ini yang awam terjadi adalah data rating tidak dikaitkan dengan konteks, diolah lagi, serta dikritisi, tapi diterima mentah-mentah. Seolah-olah jika ratingnya tinggi, maka menjadi jaminan semua orang menonton sutu program acara. Padahal sesungguhnya rating tidak berkorelasi dengan kualitas. Pembacaan rating bagi program acara yang dikatakan “unggulan”, “top”, atau “pendongkrak rating’’, adalah dalam konteks pendapatan iklan, bukan mutu suatu program acara. Pada akhirnya, kualitas suatu acara di televisi tetap bergantung pada kebijakan stasiun televisi dan penilaian masyarakat berdasarkan pada nilai-nilai dan norman-norma yang berlaku, bukan hanya rating.

Sumber : http://m.kaskus.co.id/thread/52d70b515acb17e508000259/cara-menghitung-rating-program-tv/

Share :

Facebook Twitter Google+

My Blog List

Popular Posts

Powered By Blogger