BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sekolah
inklusif adalah sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif mengakomodasi
semua anak tanpa menghiraukan kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional,
linguistik atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus.
Sampai saat ini masih
banyak anggota masyarakat yang masih belum mengetahui bahwa selain sekolah
segregasi atau sekolah khusus bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan
khusus juga ada sekolah inklusif bagi mereka. Selain itu masyarakat pada umumnya
masih menunjukkan sikap yang tidak menguntungkan bagi para penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Hal ini utamanya disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dan atau pengertian tentang kelainan serta pemahaman
terhadap para penyandang kelainan /berkebutuhan pendidikan khusus; jadi bukan
karena masyarakat memiliki etikat buruk terhadap para penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Seperti halnya dengan masyarakat pada
umumnya, keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang kelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus biasanya juga menunjukkan sikap yang merugikan penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus bersangkutan. Hal ini biasanya juga
disebabkan karena kurang tahu atau kurang mengerti, selain itu biasanya juga
masih ditambah dengan adanya tekanan batin dan atau emosi.
Sikap
atau tindakan yang tidak menguntungkan bagi para penyandang kelainan/
berkebutuhan pendidikan khusus itu ialah antara lain tidak percaya atau
mengelak kenyataan bahwa yang bersangkutan menyandang
kelainan/cacat/berkebutuhan pendidikan khusus; menolak kehadiran penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus, baik secara terang-terangan ataupun
terselebung; dan atau melindungi secara berlebihan. Jadi bukan rahasia lagi
bahwa masih ada anggota masyarakat memiliki sikap dan pandangan yang
berbeda-beda terhadap kelainan/ cacat dan para penyandangnya. Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus akan lebih berprestasi jika mereka
belajar bersama dengan anak-anak pada umumnya di sekolah inklusif, dan tidak
ada label bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus sebagai anak
cacat yang tidak mampu melakukan kegiatan belajar; tetapi mereka juga diakui
keberadaan dan prestasinya. Salah satu tuntutan utama dalam sekolah inklusif
adalah kompetensi guru dalam memberikan layanan pendidikan bagi semua anak
termasuk anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Dalam sekolah
inklusif semua keefektifan mengajar dimulai dari sikap positif dan
keingintahuan guru untuk menerima apa yang paling baik untuk semua siswa di
kelas.
BAB II
ISI
A. Dasar
Hukum sekolah inklusi
Pendidikan
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warga tanpa
terkecuali termasuk yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (Anak Berkebutuhan
Khusus) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Selama ini Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebut disediakan fasilitas pendidikan khusus
disesuaikan dengan derajat dan jenis kekhususannya yang disebut dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB), yang perkembangannya dimulai ketika Belanda masuk ke
Indonesia yaitu tahun 1596–1942. Akan tetapi tanpa disadari sistem pendidikan
SLB telah menciptakan tembok eksklusifisme yang menghambat proses saling
mengenal antara ABK dan non-ABK. Oleh karena itu pemerintah berkomitmen untuk
meningkatkan akses pendidikan dengan kesetaraan melalui sekolah inklusi yang
merupakan sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa
reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.
Sekolah
inklusif pada hakikatnya adalah sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa
menghiraukan kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik, etnik,
budaya atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak berkelainan/
berkebutuhan pendidikan khusus. Sapon-Shevin dalam O’Neil (1995) menyatakan
bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Dalam The
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education (1994),
dinyatakan bahwa:
Inclusive
education means that : “… schools should accommodate all children regardless of
their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other
conditions. This should include disabled and gifted children, street and
working children, children from remote or nomadic populations, children from
linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged
or marginalised areas or groups.”
Pendidikan inklusif
memiliki arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan
kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain
mereka. Hal ini termasuk anak cacat/berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan
dan anak pekerja, anak dari populasi terpencil dan pengembara, anak dari
linguistik, etnik dan budaya minoritas dan anak-anak dari bidang kelemahan atau
kelompok marginal lain
Menurut UNESCO (1994)
:
“ At the core of
inclusive education is the human right to education, pronounced in the
Universal Declaration of Human Rights in 1949. Equally important is the right
of children not to be discriminated against, stated in Article 2 of the
Convention on the Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this
right is that all children have the right to receive the kind of education that
does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion, language,
gender, capabilities, and so on.
Konvensi
PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua negara di
dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia; menyatakan bahwa pendidikan dasar
seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua (pasal 28). Seterusnya perlu
diketahui bahwa Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum yang
menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal mengenai pendidikan, yaitu: (1)
non-diskriminasi (pasal 2) yang menyatakan secara spesifik tentang penyandang
kebutuhan khusus/penyandang cacat; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk
kelangsungan hidup dan perkembangan (pasal 6); dan (4) menghargai pendapat anak
(pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan
saling berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi anak
berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat telah disediakan
pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa, tetapi hal ini dapat melanggar
hak mereka “diperlakukan secara non-diskriminatif”, dihargai pendapatnya dan
hak untuk tetap berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Peraturan
Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat tahun 1993,
terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang
cacat. Peraturan ini mengfokuskan pada bidang pendidikan, antara lain
pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus atau penyandang
cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum. Peraturan Standar
PBB menekankan bahwa Negara bertanggungjawab atas pendidikan bagi anak
berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat dan harus: (1) mempunyai
kebijakan yang jelas; (2) mempunyai kurikulum yang fleksibel; (3) memberikan
materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru, dan memberikan
bantuan yang berkelanjutan. Selain itu dalam Peraturan Standar PBB tersirat
bahwa inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama, yaitu harus didukung
dengan sumber-sumber yang tepat dan dengan kualitas tinggi, jadi bukan pilihan
yang murah. Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang
penting dalam pendidikan inklusif; Pendidikan khusus tidak dikesampingkan,
sebagai alternatif terutama bagi siswa tunarungu dan buta-tuli apabila
pendidikan umum tidak memadai bagi mereka.
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional BAB IV Bagian Kesatu Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap
warganegara mempunyai hak sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan
pada Bagian Keempat Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa: Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskrimininasi. Oleh karena itu semua sekolah tentunya dapat menyelenggarakan
pendidikan untuk semua warganegara tanpa kecuali.
Berdasarkan kajian tersebut di atas, dapat ditegaskan
bahwa pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan dimana semua anak termasuk
anak-anak berkelainan/berkebutuhan khusus memperoleh layanan pendidikan secara
inklusif bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya. Semua anak mempunyai hak
untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan pada latar dari
ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya,
termasuk anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus. Oleh karena itu
sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mengabaikan kondisi phisik, intelektual,
social, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka, termasuk anak cacat/
berkelainan dan anak berbakat. Setiap individu mempunyai hak untuk mendapatkan
pendidikan melalui sekolah. Kesamaan hak ini juga tercantum dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945. Di dalam Deklarasi Hak Anak Majelis
Umum PBB tahun 1959 juga jelas ditegaskan bahwa semua anak harus mendapat hak
yang sama di dalam segala bidang kehidupan dan penghidupan. Hak-hak bagi anak
inipun sudah diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 8 Undang-Undang No 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, khususnya pada Pasal 7 dimana diatur
tentang pelayanan khusus bagi anak cacat dan Pasal 8 yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan bagi anak tanpa terkecuali, ini berarti bahwa mereka yang normal
maupun tidak (penyandang cacat) mempunyai hak yang sama dalam bidang
pengajaran. Keseriusan negara dalam penanganan masalah anak, salah satunya
terlihat dari ratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Rights of the
Chile), melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990,
dibentuknya Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dilanjutkan dengan disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Konvensi hak anak yang diratifikasi Indonesia mencakup
beberapa hak yang melekat pada anak, yaitu hak hidup, hak tumbuh dan
berkembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Dari hak tersebut maka
kewajiban negara (dalam hal ini pemerintah dan masyarakat Indonesia) untuk
menjamin pelaksanaan pemeliharaan anak secara optimal. Pendidikan merupakan
salah satu dasar bagi anak, termasuk anak-anak yang tergolong sebagai
penyandang masalah kesejahteraan social, dimana salah satunya adalah anak-anak
penyandang cacat. Bagi suatu negara yang ingin maju, pendidikan merupakan kunci
utama untuk membantu manusia agar dapat mengolah serta mengembangkan bakat dan
kemampuan sosialnya untuk menemukan kepribadiannya sehingga nantinya dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam
pasal 2 Amandemen ke empat Undang-Undang Dasar 1945 juga disebutkan “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”, begitu juga diatur dalam Pasal 4 yang berbunyi, “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Memberi
kesempatan kepada anak cacat untuk berintegrasi dengan anak normal baik di
dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat
diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu
UUD 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, juga dijelaskan pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa dan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen
Depdiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.Di Indonesia hal ini
dapat dilihat dari diadakannya sekolah-sekolah Luar Biasa (atau disingkat SLB).
Selain
pendidikan dengan sistem segregasi, ada pula pendidikan yang non segregasi yang
terdiri dari sistem pendidikaan integratif dan juga pendidikan inklusif.
Keduanya mengikut sertakan Anak-anak Berkebutuhan Khusus (disingkat ABK,
termasuk di sini penyandang cacat) untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak
sebayanya disekolah reguler. Namur pada pendidikan integratif yang menjadi
penekanan adalah ABK harus mengiuti kurikulum yang sudah ada, sedangkan pada
pendidikan inklusif, ABK dapat diterima di sekolah reguler dengan kurikulum
yang disesuaikan pada kebutuhan khususnya. Artinya, anak tidak dipaksakan untuk
mengikuti estándar kurikulum dari pemerintah. Dalam hal ini pendidikan inklusif
mempunyai nilai tambah dibandingkan pendidikan integratif.
Menurut
Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional (2003),
Pendidikan Inklusif mempunyai landasan secara Internasional yaitu :
1. Deklarasi Liga
Bangsa-Bangsa Tahun 1924, tentang Pernyataan Hak-Hak Anak
2.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
3.
The Convention of The Right of Children (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang Hak Anak-Anak tahun 1989
4.
Deklarasi Dunia tentang Education For All di Jomtien, Thailand tahun 1990
5.
The Standard Rules of the Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1994.
6. The Salamanca
Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang dikeluarkan
oleh UNESCO tahun 1994 di Salamanca, Spanyol.
UNESCO
sebagai suatu lembaga internasional yang bergerak di bidang pendidikan, didalam
konferensi di Salamanca tersebut melahirkan satu kesepakatan bersama, berkaitan
dengan pendidikan inklusif dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus
sehingga menjadi salah satu konsep penting dalam pelaksanaan pendidikan luar
biasa. Sedangkan landasan nasionalnya yaitu :
1.
Undang-Undang Dasar 1945, pada alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar dan
Pasal 28, 29, 31 dan 34.
2.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
4.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
6.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
8.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 002/U/1986
tentang Pendidikan Terpadu.
9.
Surat Edaran Dirjen Didasmen Depdiknas Nomor III/C/LL/2003 tanggal 9 Januari
2003 tentang Program Percepatan Belajar
10. Surat Edaran
Dirjen Didasmen Depdiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
perihal Pendidikan Inklusif.
B.
Syarat-Syarat Untuk Sekolah Inklusi
1.
Prinsip dasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal
dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya,
mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin
diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan
kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran
yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaikbaiknya, dan penggalangan kemitraan
dengan masyarakat sekitarnya. Seyogyanya terdapat dukungan dan pelayanan yang
berkesinambungan sesuai dengan sinambungnya kebutuhan khusus yang dijumpai di
tiap sekolah.
2.
Di dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus
seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin
Jurusan PLB FIP UPI – Pebruari 2009: Manajemen Pendidikan Inklusif | 3
efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusif merupakan alat yang paling
efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan khusus
dengan temanteman sebayanya. Pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar
biasa atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah reguler seyogyanya
merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus
tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler
tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal
tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau
kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu.
Konsep
tentang Sistem Pendidikan dan Sekolah
a.
Pendidikan lebih luas dari pada pendidikan formal di sekolah (formal schooling)
b.
Fleksibel, sistem pendidikan bersifat responsif
c.
Lingkunngan pendidikan ramah terhadap anak
d.
Perbaikan mutu sekolah dan sekolah yang efektif
e.
Pendekatan yang menyeluruh dan kolaborasi dengan mitra kerja
Konsep
tentang Keberagaman dan Diskriminasi
a.
Menghilangkan diskriminasi dan pengucilan (exclusion)
b.
Memandang keragaman sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah
c.
Pendidikan inklusif menyiapkan siswa yang dapat menghargai perbedaan-perbeaan.
C. Kriteria Guru Untuk Sekolah Inklusi
Seorang
guru untuk sekolah inklusi hendaklah mempunyai pandangan yang positif terhadap
anak dan pendidikannya, sensitif dan proaktif terhadap kebutuhan ABK, peduli
terhadap kemajuan belajarnya, kreatif, memiliki kompetensi yang cukup memadai,
serta terbuka untuk diskusi, menerima masukan, dan berkolaborasi. Kolaborasi
tersebut mulai dari pelaksanaan asesmen, pembuatan perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pembelajaran yang disertai dengan pembagian peran, tugas, dan
tanggungjawab dalam pembelajaran. Kolaborasi dalam mencari cara-cara efektif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran serta pengadaan media dan penciptaan
lingkungan yang kondusif bagi ABK. Tapi yang terjadi di lapangan pada
sekolah-sekolah inklusi di Indonesia adalah
1. sebagian
besar belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih
dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
2. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum
sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
3. Belum
didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab
masing-masing guru.
4. Pelaksanaan
tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai
panduan, serta dukungan anggaran yang memadai
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan
inklusi yang menekankan kepada persamaan hak dan dan akses pendidikan kepada
setiap warga negara, tanpa kecuali, hakekatnya adalah visi baru di bidang
pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik yang menekankan kepada pilar
demokrasi, HAM, otonomi, desentralisasi, dan akuntabilitas. Dalam kontek
pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif merupakan paradigma baru dalam
pendidikan bagi penyandang cacat yang diilhami dan didorong oleh berbagai
dokumen international, khususnya tentang pendidikan untuk semua serta
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai pendidikan berkebutuhan khusus
tahun 1994. Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia saat ini
semakin diterima dan berkembang cukup pesat, namun dalam tataran
implementasinya masih dihadapkan kepada Jurusan PLB FIP UPI – Pebruari 2009:
Manajemen Pendidikan Inklusif | 14 berbgai problema, isu, dan permasalahan yang
harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan
proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri serta selaras dengan filosofi dan
konsep-konsep yang mendasarinya. Untuk itu diperlukan komitmen tinggi dan kerja
keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat
untuk mengatasinya. Dengan demikian, tujuan akhir dari semua upaya di atas
yaitu kesejahteraan para penyandang cacat dalam memperoleh segala haknya
sebagai warga negara dapat direalisasikan secara cepat dan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Rama Rovanita.2011.Perlindungan hukum bagi Anak Berkebutuhan
Khussu dengan pelaksanaan pendidikan khusus/Inklusif ditinjau dari berbagai
Undang-Undang yang berlaku.Riau : Fakultas Ekonomi Universitas Riau
(Jurnal)
Dra.Rudiyati Sari M.Pd.2011.Potret Sekolah Inklusi Di Indonesia.Yogyakarta
: Fakultas Ilmu Pendidikan Yogyakarta (Jurnal)
Koswara Deded.2013.Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Berkesulitan Belajar Spesifik.Jakarta,luksima.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sekolah
inklusif adalah sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif mengakomodasi
semua anak tanpa menghiraukan kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional,
linguistik atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus.
Sampai saat ini masih
banyak anggota masyarakat yang masih belum mengetahui bahwa selain sekolah
segregasi atau sekolah khusus bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan
khusus juga ada sekolah inklusif bagi mereka. Selain itu masyarakat pada umumnya
masih menunjukkan sikap yang tidak menguntungkan bagi para penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Hal ini utamanya disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dan atau pengertian tentang kelainan serta pemahaman
terhadap para penyandang kelainan /berkebutuhan pendidikan khusus; jadi bukan
karena masyarakat memiliki etikat buruk terhadap para penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Seperti halnya dengan masyarakat pada
umumnya, keluarga yang mempunyai anggota keluarga penyandang kelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus biasanya juga menunjukkan sikap yang merugikan penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus bersangkutan. Hal ini biasanya juga
disebabkan karena kurang tahu atau kurang mengerti, selain itu biasanya juga
masih ditambah dengan adanya tekanan batin dan atau emosi.
Sikap
atau tindakan yang tidak menguntungkan bagi para penyandang kelainan/
berkebutuhan pendidikan khusus itu ialah antara lain tidak percaya atau
mengelak kenyataan bahwa yang bersangkutan menyandang
kelainan/cacat/berkebutuhan pendidikan khusus; menolak kehadiran penyandang
kelainan/berkebutuhan pendidikan khusus, baik secara terang-terangan ataupun
terselebung; dan atau melindungi secara berlebihan. Jadi bukan rahasia lagi
bahwa masih ada anggota masyarakat memiliki sikap dan pandangan yang
berbeda-beda terhadap kelainan/ cacat dan para penyandangnya. Anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus akan lebih berprestasi jika mereka
belajar bersama dengan anak-anak pada umumnya di sekolah inklusif, dan tidak
ada label bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus sebagai anak
cacat yang tidak mampu melakukan kegiatan belajar; tetapi mereka juga diakui
keberadaan dan prestasinya. Salah satu tuntutan utama dalam sekolah inklusif
adalah kompetensi guru dalam memberikan layanan pendidikan bagi semua anak
termasuk anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Dalam sekolah
inklusif semua keefektifan mengajar dimulai dari sikap positif dan
keingintahuan guru untuk menerima apa yang paling baik untuk semua siswa di
kelas.
BAB II
ISI
A. Dasar
Hukum sekolah inklusi
Pendidikan
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warga tanpa
terkecuali termasuk yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (Anak Berkebutuhan
Khusus) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Selama ini Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebut disediakan fasilitas pendidikan khusus
disesuaikan dengan derajat dan jenis kekhususannya yang disebut dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB), yang perkembangannya dimulai ketika Belanda masuk ke
Indonesia yaitu tahun 1596–1942. Akan tetapi tanpa disadari sistem pendidikan
SLB telah menciptakan tembok eksklusifisme yang menghambat proses saling
mengenal antara ABK dan non-ABK. Oleh karena itu pemerintah berkomitmen untuk
meningkatkan akses pendidikan dengan kesetaraan melalui sekolah inklusi yang
merupakan sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa
reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.
Sekolah
inklusif pada hakikatnya adalah sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa
menghiraukan kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik, etnik,
budaya atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak berkelainan/
berkebutuhan pendidikan khusus. Sapon-Shevin dalam O’Neil (1995) menyatakan
bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Dalam The
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education (1994),
dinyatakan bahwa:
Inclusive
education means that : “… schools should accommodate all children regardless of
their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other
conditions. This should include disabled and gifted children, street and
working children, children from remote or nomadic populations, children from
linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged
or marginalised areas or groups.”
Pendidikan inklusif
memiliki arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan
kondisi phisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain
mereka. Hal ini termasuk anak cacat/berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan
dan anak pekerja, anak dari populasi terpencil dan pengembara, anak dari
linguistik, etnik dan budaya minoritas dan anak-anak dari bidang kelemahan atau
kelompok marginal lain
Menurut UNESCO (1994)
:
“ At the core of
inclusive education is the human right to education, pronounced in the
Universal Declaration of Human Rights in 1949. Equally important is the right
of children not to be discriminated against, stated in Article 2 of the
Convention on the Right of the Child (UN, 1989). A logical consequence of this
right is that all children have the right to receive the kind of education that
does not discriminate on grounds of disability, ethnicity, religion, language,
gender, capabilities, and so on.
Konvensi
PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang telah ditandangani oleh semua negara di
dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia; menyatakan bahwa pendidikan dasar
seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua (pasal 28). Seterusnya perlu
diketahui bahwa Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat prinsip umum yang
menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal mengenai pendidikan, yaitu: (1)
non-diskriminasi (pasal 2) yang menyatakan secara spesifik tentang penyandang
kebutuhan khusus/penyandang cacat; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk
kelangsungan hidup dan perkembangan (pasal 6); dan (4) menghargai pendapat anak
(pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan
saling berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi anak
berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat telah disediakan
pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa, tetapi hal ini dapat melanggar
hak mereka “diperlakukan secara non-diskriminatif”, dihargai pendapatnya dan
hak untuk tetap berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Peraturan
Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat tahun 1993,
terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang
cacat. Peraturan ini mengfokuskan pada bidang pendidikan, antara lain
pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus atau penyandang
cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum. Peraturan Standar
PBB menekankan bahwa Negara bertanggungjawab atas pendidikan bagi anak
berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat dan harus: (1) mempunyai
kebijakan yang jelas; (2) mempunyai kurikulum yang fleksibel; (3) memberikan
materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru, dan memberikan
bantuan yang berkelanjutan. Selain itu dalam Peraturan Standar PBB tersirat
bahwa inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama, yaitu harus didukung
dengan sumber-sumber yang tepat dan dengan kualitas tinggi, jadi bukan pilihan
yang murah. Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang
penting dalam pendidikan inklusif; Pendidikan khusus tidak dikesampingkan,
sebagai alternatif terutama bagi siswa tunarungu dan buta-tuli apabila
pendidikan umum tidak memadai bagi mereka.
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional BAB IV Bagian Kesatu Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap
warganegara mempunyai hak sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan
pada Bagian Keempat Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa: Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskrimininasi. Oleh karena itu semua sekolah tentunya dapat menyelenggarakan
pendidikan untuk semua warganegara tanpa kecuali.
Berdasarkan kajian tersebut di atas, dapat ditegaskan
bahwa pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan dimana semua anak termasuk
anak-anak berkelainan/berkebutuhan khusus memperoleh layanan pendidikan secara
inklusif bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya. Semua anak mempunyai hak
untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan pada latar dari
ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jender, kapabilitas dan lain sebagainya,
termasuk anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus. Oleh karena itu
sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mengabaikan kondisi phisik, intelektual,
social, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka, termasuk anak cacat/
berkelainan dan anak berbakat. Setiap individu mempunyai hak untuk mendapatkan
pendidikan melalui sekolah. Kesamaan hak ini juga tercantum dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945. Di dalam Deklarasi Hak Anak Majelis
Umum PBB tahun 1959 juga jelas ditegaskan bahwa semua anak harus mendapat hak
yang sama di dalam segala bidang kehidupan dan penghidupan. Hak-hak bagi anak
inipun sudah diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 8 Undang-Undang No 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, khususnya pada Pasal 7 dimana diatur
tentang pelayanan khusus bagi anak cacat dan Pasal 8 yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan bagi anak tanpa terkecuali, ini berarti bahwa mereka yang normal
maupun tidak (penyandang cacat) mempunyai hak yang sama dalam bidang
pengajaran. Keseriusan negara dalam penanganan masalah anak, salah satunya
terlihat dari ratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Rights of the
Chile), melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990,
dibentuknya Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dilanjutkan dengan disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Konvensi hak anak yang diratifikasi Indonesia mencakup
beberapa hak yang melekat pada anak, yaitu hak hidup, hak tumbuh dan
berkembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Dari hak tersebut maka
kewajiban negara (dalam hal ini pemerintah dan masyarakat Indonesia) untuk
menjamin pelaksanaan pemeliharaan anak secara optimal. Pendidikan merupakan
salah satu dasar bagi anak, termasuk anak-anak yang tergolong sebagai
penyandang masalah kesejahteraan social, dimana salah satunya adalah anak-anak
penyandang cacat. Bagi suatu negara yang ingin maju, pendidikan merupakan kunci
utama untuk membantu manusia agar dapat mengolah serta mengembangkan bakat dan
kemampuan sosialnya untuk menemukan kepribadiannya sehingga nantinya dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam
pasal 2 Amandemen ke empat Undang-Undang Dasar 1945 juga disebutkan “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”, begitu juga diatur dalam Pasal 4 yang berbunyi, “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Memberi
kesempatan kepada anak cacat untuk berintegrasi dengan anak normal baik di
dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat
diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu
UUD 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, juga dijelaskan pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa dan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen
Depdiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.Di Indonesia hal ini
dapat dilihat dari diadakannya sekolah-sekolah Luar Biasa (atau disingkat SLB).
Selain
pendidikan dengan sistem segregasi, ada pula pendidikan yang non segregasi yang
terdiri dari sistem pendidikaan integratif dan juga pendidikan inklusif.
Keduanya mengikut sertakan Anak-anak Berkebutuhan Khusus (disingkat ABK,
termasuk di sini penyandang cacat) untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak
sebayanya disekolah reguler. Namur pada pendidikan integratif yang menjadi
penekanan adalah ABK harus mengiuti kurikulum yang sudah ada, sedangkan pada
pendidikan inklusif, ABK dapat diterima di sekolah reguler dengan kurikulum
yang disesuaikan pada kebutuhan khususnya. Artinya, anak tidak dipaksakan untuk
mengikuti estándar kurikulum dari pemerintah. Dalam hal ini pendidikan inklusif
mempunyai nilai tambah dibandingkan pendidikan integratif.
Menurut
Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional (2003),
Pendidikan Inklusif mempunyai landasan secara Internasional yaitu :
1. Deklarasi Liga
Bangsa-Bangsa Tahun 1924, tentang Pernyataan Hak-Hak Anak
2.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
3.
The Convention of The Right of Children (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang Hak Anak-Anak tahun 1989
4.
Deklarasi Dunia tentang Education For All di Jomtien, Thailand tahun 1990
5.
The Standard Rules of the Equalization of Opportunities for Persons with
Disabilities yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1994.
6. The Salamanca
Statement and Framework for Action on Special Needs Education yang dikeluarkan
oleh UNESCO tahun 1994 di Salamanca, Spanyol.
UNESCO
sebagai suatu lembaga internasional yang bergerak di bidang pendidikan, didalam
konferensi di Salamanca tersebut melahirkan satu kesepakatan bersama, berkaitan
dengan pendidikan inklusif dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus
sehingga menjadi salah satu konsep penting dalam pelaksanaan pendidikan luar
biasa. Sedangkan landasan nasionalnya yaitu :
1.
Undang-Undang Dasar 1945, pada alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar dan
Pasal 28, 29, 31 dan 34.
2.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
4.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
6.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
8.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 002/U/1986
tentang Pendidikan Terpadu.
9.
Surat Edaran Dirjen Didasmen Depdiknas Nomor III/C/LL/2003 tanggal 9 Januari
2003 tentang Program Percepatan Belajar
10. Surat Edaran
Dirjen Didasmen Depdiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003
perihal Pendidikan Inklusif.
B.
Syarat-Syarat Untuk Sekolah Inklusi
1.
Prinsip dasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal
dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya,
mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin
diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan
kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran
yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaikbaiknya, dan penggalangan kemitraan
dengan masyarakat sekitarnya. Seyogyanya terdapat dukungan dan pelayanan yang
berkesinambungan sesuai dengan sinambungnya kebutuhan khusus yang dijumpai di
tiap sekolah.
2.
Di dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus
seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin
Jurusan PLB FIP UPI – Pebruari 2009: Manajemen Pendidikan Inklusif | 3
efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusif merupakan alat yang paling
efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan khusus
dengan temanteman sebayanya. Pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar
biasa atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah reguler seyogyanya
merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus
tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler
tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal
tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau
kesejahteraan anak-anak lain di sekolah itu.
Konsep
tentang Sistem Pendidikan dan Sekolah
a.
Pendidikan lebih luas dari pada pendidikan formal di sekolah (formal schooling)
b.
Fleksibel, sistem pendidikan bersifat responsif
c.
Lingkunngan pendidikan ramah terhadap anak
d.
Perbaikan mutu sekolah dan sekolah yang efektif
e.
Pendekatan yang menyeluruh dan kolaborasi dengan mitra kerja
Konsep
tentang Keberagaman dan Diskriminasi
a.
Menghilangkan diskriminasi dan pengucilan (exclusion)
b.
Memandang keragaman sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah
c.
Pendidikan inklusif menyiapkan siswa yang dapat menghargai perbedaan-perbeaan.
C. Kriteria Guru Untuk Sekolah Inklusi
Seorang
guru untuk sekolah inklusi hendaklah mempunyai pandangan yang positif terhadap
anak dan pendidikannya, sensitif dan proaktif terhadap kebutuhan ABK, peduli
terhadap kemajuan belajarnya, kreatif, memiliki kompetensi yang cukup memadai,
serta terbuka untuk diskusi, menerima masukan, dan berkolaborasi. Kolaborasi
tersebut mulai dari pelaksanaan asesmen, pembuatan perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pembelajaran yang disertai dengan pembagian peran, tugas, dan
tanggungjawab dalam pembelajaran. Kolaborasi dalam mencari cara-cara efektif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran serta pengadaan media dan penciptaan
lingkungan yang kondusif bagi ABK. Tapi yang terjadi di lapangan pada
sekolah-sekolah inklusi di Indonesia adalah
1. sebagian
besar belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih
dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
2. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum
sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
3. Belum
didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab
masing-masing guru.
4. Pelaksanaan
tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai
panduan, serta dukungan anggaran yang memadai
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan
inklusi yang menekankan kepada persamaan hak dan dan akses pendidikan kepada
setiap warga negara, tanpa kecuali, hakekatnya adalah visi baru di bidang
pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik yang menekankan kepada pilar
demokrasi, HAM, otonomi, desentralisasi, dan akuntabilitas. Dalam kontek
pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif merupakan paradigma baru dalam
pendidikan bagi penyandang cacat yang diilhami dan didorong oleh berbagai
dokumen international, khususnya tentang pendidikan untuk semua serta
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai pendidikan berkebutuhan khusus
tahun 1994. Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia saat ini
semakin diterima dan berkembang cukup pesat, namun dalam tataran
implementasinya masih dihadapkan kepada Jurusan PLB FIP UPI – Pebruari 2009:
Manajemen Pendidikan Inklusif | 14 berbgai problema, isu, dan permasalahan yang
harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan
proses menuju pendidikan inklusif itu sendiri serta selaras dengan filosofi dan
konsep-konsep yang mendasarinya. Untuk itu diperlukan komitmen tinggi dan kerja
keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat
untuk mengatasinya. Dengan demikian, tujuan akhir dari semua upaya di atas
yaitu kesejahteraan para penyandang cacat dalam memperoleh segala haknya
sebagai warga negara dapat direalisasikan secara cepat dan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Rama Rovanita.2011.Perlindungan hukum bagi Anak Berkebutuhan
Khussu dengan pelaksanaan pendidikan khusus/Inklusif ditinjau dari berbagai
Undang-Undang yang berlaku.Riau : Fakultas Ekonomi Universitas Riau
(Jurnal)
Dra.Rudiyati Sari M.Pd.2011.Potret Sekolah Inklusi Di Indonesia.Yogyakarta
: Fakultas Ilmu Pendidikan Yogyakarta (Jurnal)
Koswara Deded.2013.Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Berkesulitan Belajar Spesifik.Jakarta,luksima.