Masukan kata kunci di sini

Post Unggulan

Daftar Acara TV dan Stasiun TV dengan Rating Tertinggi Terbaru Bulan November

DAFTAR ACARA TV , Ini dia gaes daftar acara TV dan juga Stasiun dengan rating tertinggi bulan November. Semoga aja daftar acara tv kalian m...

Pendidikan Untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus Belum Siap

Anak-anak yang mengalami gangguan perilaku dan mental yang berdampak pada kemampuan dalam kehidupan sosial dan prestasi belajar saat ini semakin meningkat.
Namun, penanganan pendidikan yang diberikan sekolah dan orangtua bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini belum sesuai kekhususan yang dimiliki anak-anak.

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah juga belum berpihak untuk memperhatikan keterbatasan anak-anak berkebutuhan khusus, dan belum memfasilitasi kebutuhan anak-anak itu untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Jika persoalan gangguan perilaku dan mental anak-anak berkebutuhan khusus dibiarkan dan tidak diperhatikan secara serius, bisa saja semakin banyak anak-anak Indonesia yang kelak berada dalam masalah serius.
Demikian persoalan yang mengemuka dalam seminar anak berkebutuhan khusus yang diselenggarakan Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta, Selasa (8/11/2011). Seminar ini mengkaji kebijakan, pola asuh, dan strategi pembelajaran anak dengan gangguan perilaku dan mental dalam seting inklusi.
Theresia MD Kaunang, spesialis psikiatri anak, mengatakan, gangguan perilaku dan mental pada anak-anak saat ini yang sering dijumpai misalnya autisme. Prevelansi autisme tahun 1992-2005 naik 26 persen, sementara pada tahun 2000-2005 naik 16 persen. Di suatu rumah sakit di Jakarta, pada tahun 1999 baru ada enam anak terdeteksi autisme, dan tahun 2000 jumlahnya menjadi 106 anak.
 "Sebanyak 75 persen anak-anak autis ini punya IQ di bawah rata-rata. Mereka ini perlu sekolah khusus," kata Theresia.
Menurut Theresia, gangguan psikiatrik anak yang paling banyak adalah gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH). Mereka banyak dijumpai di sekolah dan dicap sebagai anak-anak nakal, bodoh, dan sumber masalah.
Penelitian penyandang GPPH pada anak-anak SD di Jakarta pada tahun 2006 berjumlah 26 persen. Penelitian pada anak-anak prasekolah di Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2009 berjumlah 32,9 persen. Temuan di bantaran Kali Ciliwung pada tahun lalu berkisar 24,5 persen. 
"Anak-anak ini terutama kurang konsentrasi atau fokus, hiperaktif, dan impulsif. Anak-anak yang menyandang masalah ini sering bermasalah pada prestasi sekolah. Perilaku di kelas mereka buruk sehingga sering dihukum guru, nilai buruk, dan sering gagal menyelesaikan sekolah," ujar Theresia.
Ketua Pusat Kajian Disabilitas FISIP Universitas Indonesia Irwanto mengatakan, anak-anak yang mengalami tantangan mental dan perilaku ini sering disalahmengerti. Mereka lebih dilihat sebagai orang yang memiliki keterbatasan dibandingkan dengan keistimewaan atau potensi.  
Menurut Irwanto, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus mau mengubah paradigma. Setelah Indonesia meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas, pandangan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus mestinya melihat mereka sebagai individu yang sedang berkembang.
"Dalam keterbatasan seserius apa pun, ada celah dan kesempatan untuk berkembang. Ruang sempit yang ada di dalam diri anak-anak berkebutuhan khusus inilah yang harus kita rebut untuk membuat mereka dapat mengembangkan diri secara optimal dalam keterbatasannya. Itu tanggung jawab kita semua," ujar Irwanto. 
Menurut Irwanto, kebiajkan pemerintah belum berpihak untuk memahami kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus. Soal deteksi dini, misalnya, sektor pendidikan dan kesehatan belum memadai.
"Saya lihat pada kebijakan pendidikan anak usia dini yang sedang digalakkan secara nasional tidak ada panduan bagi guru untuk memahami soal anak-anak berkebutuhan khusus," ujar Irwanto.  
Agustina Indriati, psikolog dari Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia, mengatakan, banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum mendapat layanan sesuai kebutuhannya, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat. Layanan pendidikan di sekolah inklusi juga belum sesuai karena guru tak punya kemampuan dan keahlian yang memadai menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.  

"Para orangtua juga belum banyak yang dibantu untuk memahami pentingnya deteksi dini dan pola asuh yang sesuai kebutuhan anak untuk membantu potensi dalam diri tiap anak," kata Agustina.
Sumber : kompas.com
Anak-anak yang mengalami gangguan perilaku dan mental yang berdampak pada kemampuan dalam kehidupan sosial dan prestasi belajar saat ini semakin meningkat.
Namun, penanganan pendidikan yang diberikan sekolah dan orangtua bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini belum sesuai kekhususan yang dimiliki anak-anak.

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah juga belum berpihak untuk memperhatikan keterbatasan anak-anak berkebutuhan khusus, dan belum memfasilitasi kebutuhan anak-anak itu untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Jika persoalan gangguan perilaku dan mental anak-anak berkebutuhan khusus dibiarkan dan tidak diperhatikan secara serius, bisa saja semakin banyak anak-anak Indonesia yang kelak berada dalam masalah serius.
Demikian persoalan yang mengemuka dalam seminar anak berkebutuhan khusus yang diselenggarakan Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta, Selasa (8/11/2011). Seminar ini mengkaji kebijakan, pola asuh, dan strategi pembelajaran anak dengan gangguan perilaku dan mental dalam seting inklusi.
Theresia MD Kaunang, spesialis psikiatri anak, mengatakan, gangguan perilaku dan mental pada anak-anak saat ini yang sering dijumpai misalnya autisme. Prevelansi autisme tahun 1992-2005 naik 26 persen, sementara pada tahun 2000-2005 naik 16 persen. Di suatu rumah sakit di Jakarta, pada tahun 1999 baru ada enam anak terdeteksi autisme, dan tahun 2000 jumlahnya menjadi 106 anak.
 "Sebanyak 75 persen anak-anak autis ini punya IQ di bawah rata-rata. Mereka ini perlu sekolah khusus," kata Theresia.
Menurut Theresia, gangguan psikiatrik anak yang paling banyak adalah gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH). Mereka banyak dijumpai di sekolah dan dicap sebagai anak-anak nakal, bodoh, dan sumber masalah.
Penelitian penyandang GPPH pada anak-anak SD di Jakarta pada tahun 2006 berjumlah 26 persen. Penelitian pada anak-anak prasekolah di Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2009 berjumlah 32,9 persen. Temuan di bantaran Kali Ciliwung pada tahun lalu berkisar 24,5 persen. 
"Anak-anak ini terutama kurang konsentrasi atau fokus, hiperaktif, dan impulsif. Anak-anak yang menyandang masalah ini sering bermasalah pada prestasi sekolah. Perilaku di kelas mereka buruk sehingga sering dihukum guru, nilai buruk, dan sering gagal menyelesaikan sekolah," ujar Theresia.
Ketua Pusat Kajian Disabilitas FISIP Universitas Indonesia Irwanto mengatakan, anak-anak yang mengalami tantangan mental dan perilaku ini sering disalahmengerti. Mereka lebih dilihat sebagai orang yang memiliki keterbatasan dibandingkan dengan keistimewaan atau potensi.  
Menurut Irwanto, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus mau mengubah paradigma. Setelah Indonesia meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas, pandangan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus mestinya melihat mereka sebagai individu yang sedang berkembang.
"Dalam keterbatasan seserius apa pun, ada celah dan kesempatan untuk berkembang. Ruang sempit yang ada di dalam diri anak-anak berkebutuhan khusus inilah yang harus kita rebut untuk membuat mereka dapat mengembangkan diri secara optimal dalam keterbatasannya. Itu tanggung jawab kita semua," ujar Irwanto. 
Menurut Irwanto, kebiajkan pemerintah belum berpihak untuk memahami kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus. Soal deteksi dini, misalnya, sektor pendidikan dan kesehatan belum memadai.
"Saya lihat pada kebijakan pendidikan anak usia dini yang sedang digalakkan secara nasional tidak ada panduan bagi guru untuk memahami soal anak-anak berkebutuhan khusus," ujar Irwanto.  
Agustina Indriati, psikolog dari Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia, mengatakan, banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum mendapat layanan sesuai kebutuhannya, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat. Layanan pendidikan di sekolah inklusi juga belum sesuai karena guru tak punya kemampuan dan keahlian yang memadai menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.  

"Para orangtua juga belum banyak yang dibantu untuk memahami pentingnya deteksi dini dan pola asuh yang sesuai kebutuhan anak untuk membantu potensi dalam diri tiap anak," kata Agustina.
Sumber : kompas.com

Share :

Facebook Twitter Google+

My Blog List

Popular Posts

Powered By Blogger