A. Ada beberapa pendapat tentang pengertian profesi, diantaranya adalah sebagai berikut:
Profesi merupakan suatu pekerjaan atau atau jabatan yang menuntut keahlian dari para petugasnya (Prayitno dan Erman Amti, 2004: 38). 2. Profesi merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku (Dirjen Dikti Depdiknas, 2004: 5). 3. Kekuatan dan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja tenaga professional dengan kepercayaan publik (public trust).
• Ciri-ciri Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan tetapi tidak setiap pekerjaan merupakan profesi. Adapun pekerjaan yang tergolong profesi memiliki cirri-ciri sebagai berikut. 1)P rofesi adalah pekerjaan yang menuntut keahlian bagi para pelaku, baik keahlian teoritis maupun keahlian dalam praktik. 2) Keahlian tersebut dipersiapkan secara khusus melalui pendidikan yang khusus sesuai dengan profesi tersebut. 3) Profesi merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. 4) Tenaga professional dalam melakukan tugasnya terikat oleh kode etik profesi. 5) Para tenaga professional tergabung dalam suatu organisasi profesi.
• Konselor Merupakan Suatu Profesi
Konselor merupakan suatu profesi karena bidang pekerjaan yang dilakukan oleh para konselor hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah dipersiapkan secara khusus, melalui profesionalisasi, untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Dasar Pemikiran Standarisasi Profesi Konselor
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik,sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor,widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003Pasal 1 Ayat 6). Kesejajaran posisi ini tidaklah berarti bahwasemua tenaga pendidik itu tanpa keunikan konteks tugas danekspektasi kinerja. Demikian juga konselor memiliki keunikankonteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis samadengan guru. Hal ini mengandungimplikasi bahwa untukmasing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, perludisusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi berdasarkepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja masing-masing.
Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan sertapemikiran yang telah dikaji, bisa ditegaskan bahwa pelayananahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselorberada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yangbertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalananhidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikantermasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraihserta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupanyang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi wargamasyarakat yang peduli kemaslahatan umum melaluipendidikan”.
Sedangkan ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakanpenyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan “the reflective practitioner”.
Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan sertapemikiran yang telah dikaji, bisa ditegaskan bahwa pelayananahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselorberada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yangbertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalananhidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikantermasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraihserta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupanyang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi wargamasyarakat yang peduli kemaslahatan umum melaluipendidikan”.
Sedangkan ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakanpenyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan “the reflective practitioner”.
KOMPETENSI KONSELORØ
Sebagaimana lazimnya dalam suatu profesi, sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Akademik Konselor
Sebagaimana layanan ahli pada bidang lain seperti akuntansi, notariat dan layanan medik, kompetensi akademik konselor yang utuh diperoleh melalui Program S-1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds.)1, 1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan profesional konsekutif sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan profesional guru. Kompetensi akademik seorang Konselor Profesional terdiri atas kemampuan:
a. Mengenal secara mendalam konseli2 yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi bukan saja kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai Inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerikal-matematik yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepan- kan kemampuan berpikir analitik, melainkan juga seyogyanya melebar ke segenap spektrum kemam- puan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan inteligensi multipel (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berpikir sintetik dan kemampuan berpikir praktikal di samping kemampuan berpikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motivasi dan keuletannya dalam belajar dan/atau yang diharapkan akan menerus sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.l. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka pikir yang memperhadapkan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfasilitasian (helping professions), dalam ke arah patologik yang merupakan kawasan garapan psikiater atau menyandang kelainan yang merupakan kawasan garapan terapis untuk berbagai bidang yang bersifat khas dalam Pendidikan Luar Biasa. mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyikapan yang empatik, mengormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.
b. Menguasai khasanah teoretik dan prosedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoretik dan prosedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt, Z dan J. Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :
1) Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penye-lenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
2) Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyeleng- garaan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
3) Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu profesi, sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Akademik Konselor
Sebagaimana layanan ahli pada bidang lain seperti akuntansi, notariat dan layanan medik, kompetensi akademik konselor yang utuh diperoleh melalui Program S-1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds.)1, 1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan profesional konsekutif sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan profesional guru. Kompetensi akademik seorang Konselor Profesional terdiri atas kemampuan:
a. Mengenal secara mendalam konseli2 yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi bukan saja kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai Inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerikal-matematik yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepan- kan kemampuan berpikir analitik, melainkan juga seyogyanya melebar ke segenap spektrum kemam- puan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan inteligensi multipel (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berpikir sintetik dan kemampuan berpikir praktikal di samping kemampuan berpikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motivasi dan keuletannya dalam belajar dan/atau yang diharapkan akan menerus sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.l. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka pikir yang memperhadapkan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfasilitasian (helping professions), dalam ke arah patologik yang merupakan kawasan garapan psikiater atau menyandang kelainan yang merupakan kawasan garapan terapis untuk berbagai bidang yang bersifat khas dalam Pendidikan Luar Biasa. mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyikapan yang empatik, mengormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.
b. Menguasai khasanah teoretik dan prosedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoretik dan prosedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt, Z dan J. Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :
1) Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penye-lenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
2) Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyeleng- garaan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
3) Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan.
Untuk menyeleng-garakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan (Gysbers, N. C. dan P. Henderson, 2006), seorang konselor harus mampu :
a. Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
b. Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian sambil jalan (mid- course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d. Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan- nya, Konselor perlu membiasakan diri mengguna- kan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka pikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyeleng- garakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.
b. Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian sambil jalan (mid- course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d. Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan- nya, Konselor perlu membiasakan diri mengguna- kan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka pikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyeleng- garakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.
Kompetensi akademik sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikuasai melalui pendidikan akademik dengan menu kurikuler yang mencakup kajian tentang Pedagogi, Psikologi Perkembangan, Psikologi Belajar, Bimbingan dan Konseling serta beberapa bidang penunjang seperti Filsafat Pendidikan, Sosiologi, Antropologi budaya, Dinamika Kelompok, Budaya Organisasi Kelas dan Sekolah, di samping kajian tentang program pendidikan dalam sistem pendidikan formal, Strategi Bimbingan dan Konseling serta Strategi Pem- belajaran, Asesmen bakat dan minat konseli di samping asesmen proses dan hasil pembelajaran, Dinamika Kelompok, Pengelolaan Kelas dan sebagainya, dengan beban studi minimum 144 SKS.
• Asesmen Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan dan Konseling
• Asesmen Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan dan Konseling
Penguasaan Kompetensi Akademik dalam bimbingan dan konseling sebagaimana digambarkan di atas dapat ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan yang dimiliki serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok calon konselor yang berjumlah besar maupun melalui berbagai asesmen individual untuk mengases kemampuan dan minat serta permasalahan yang dihadapi oleh calon konselor sebagai perorangan. Demi tranparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon konselor, dianugerahi ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling. Ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling ini merupakan pra-syarat untuk diperkenankan mengikuti Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan selama dua semester.
2. Kompetensi Profesional Konselor
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice) sampai dengan latihan mandiri (self-initiated practice) dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong3 (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan profesional konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan kemampuan calon konselor dalam meng-gunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil (minute if-then decisionsatau tacit knowledge) yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan. Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam per-tumbuhan penguasaan kiat profesional dalam penyeleng-garaan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh profesional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli (safe practitioner (lihat kembali, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, 2003; Schone, 1983; Corey, 2001; Hogan-Garcia, 2003; Sternberg, 2003).
Asesmen Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor Penguasaan akademik,Ø
penguasaan kemampuan profesional hanya dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakanhigh-inference assessment instrument, yang telah beredar dilingkungan LPTK sejak awal dekade 1980-an. Ini berarti bahwa perlu dikembangkan sarana asesmen yang serupa di bidang bimbingan dan konseling. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah diisyaratkan di atas adalah bahwa asesmen kemampuan profesional konselor itu tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot ataumoment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan terlebih-lebih penting lagi, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja konselor. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pelayanan bimbingan dan konseling dalam kurun waktu tertentu. Demi transparansi, asesmen penguasaan kompetensi profesional calon konselor itu dilakukan dengan menggunakan penguji luar baik dosen Bimbingan dan Konseling yang berasal dari LPTK lain, unsur Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) maupun konselor pamong yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional konselor melalui Program Pendidikan Profesional Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan sebagaimana dipaparkan dalam bagian ini, dianugerahi Sertifikat Konselor dan berhak mencantumkan singkatan gelar profesi “Kons” di belakang namanya.
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice) sampai dengan latihan mandiri (self-initiated practice) dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong3 (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan profesional konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan kemampuan calon konselor dalam meng-gunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil (minute if-then decisionsatau tacit knowledge) yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan. Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam per-tumbuhan penguasaan kiat profesional dalam penyeleng-garaan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh profesional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli (safe practitioner (lihat kembali, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, 2003; Schone, 1983; Corey, 2001; Hogan-Garcia, 2003; Sternberg, 2003).
Asesmen Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor Penguasaan akademik,Ø
penguasaan kemampuan profesional hanya dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakanhigh-inference assessment instrument, yang telah beredar dilingkungan LPTK sejak awal dekade 1980-an. Ini berarti bahwa perlu dikembangkan sarana asesmen yang serupa di bidang bimbingan dan konseling. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah diisyaratkan di atas adalah bahwa asesmen kemampuan profesional konselor itu tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot ataumoment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan terlebih-lebih penting lagi, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja konselor. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pelayanan bimbingan dan konseling dalam kurun waktu tertentu. Demi transparansi, asesmen penguasaan kompetensi profesional calon konselor itu dilakukan dengan menggunakan penguji luar baik dosen Bimbingan dan Konseling yang berasal dari LPTK lain, unsur Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) maupun konselor pamong yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional konselor melalui Program Pendidikan Profesional Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan sebagaimana dipaparkan dalam bagian ini, dianugerahi Sertifikat Konselor dan berhak mencantumkan singkatan gelar profesi “Kons” di belakang namanya.
KAREKTERISTIK KONSELOR MENURUT BEBERAPA AHLIØ
Dalam memberikan bimbingan atau arahan pada klien, konselor haruslah mempunyai karateristik. Adapun karateristik konselor yang efektif dalam memberikan arahan amaupun solusi terhadap klien yaitu hal hal yang akan di jelaskan di bawah ini.
Penelitian-penelitaian dari beberapa para ahli yang dikutip oleh Brammer, Abrego & Shostrom (1993) :
• Sikap hangat
• Dapat memahami
• Positiv regard
• Self-revealing
• Kondisi fasilitatif sehingga dapat membantu perubahan pada klien
• Keterbukaan dalam diri konselor
Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karakterisitik konselor yang efektif adalah:
Penelitian-penelitaian dari beberapa para ahli yang dikutip oleh Brammer, Abrego & Shostrom (1993) :
• Sikap hangat
• Dapat memahami
• Positiv regard
• Self-revealing
• Kondisi fasilitatif sehingga dapat membantu perubahan pada klien
• Keterbukaan dalam diri konselor
Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karakterisitik konselor yang efektif adalah:
1) Congruence (Genuineness, Authenticity)
Kongruensi itu sangat penting sebagai dasar sikap yang harus dipunyai oleh seorang konselor. Ia harus paham tentang dirinya sendiri, berarti pikiran, perasaan dan pengalamannya haruslah serasi. Kalau seseorang mempunyai pengalaman marah, maka perasaan dan pikirannya harus marah, yang tercermin pula dalam tindakannya. Ia harus memahami bias-bias yang ada dalam dirinya, prasangka-prasangka yang mewarnai pikirannya. Ia harus tau kelemahan dan asset-aset yang dipunyainya. Kalau ia menyadari hal ini, ia dapat membuat pembedaan antara dirinya dan orang lain. Ia tahu bahwa orang lain bukandirinya
2) Unconditional positive regard (Acceptance)
Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu ditunjukan oleh seorang konselor kepada kliennya.. Ia harus dapat menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya mempunyai nilai-nilai sendiri, kebutuhan-kebutuhan sendiri yang lain darpada yang dimiliki olehnya.
Asumsi dasar yang melandasi Acceptande adalah :
• Individu mempunyai infinite worth and dignity. Individu mempunyai harkat dan martabat yang tak terbatas.
• Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.
• Orang mempunyai kamampuan atau potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna secara sosial.
• Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
• Individu mempunyai infinite worth and dignity. Individu mempunyai harkat dan martabat yang tak terbatas.
• Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.
• Orang mempunyai kamampuan atau potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna secara sosial.
• Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
3) Empati
Empati adalah konsep yang sepertinya mudah dipahami sulit untuk dicerna. Empati itu sangat sederhana, yaitu dengan memahami orang lain dari sudut kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan orang yang melakukan empati harus yang “kuat”, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang lain. Review hal 57 – 64 Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa karakteristik konselor yang efektif sebagai berikut :
• Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
• Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya.
• Mampu “menjangkau” kedalam dan keluar.
• Berkeinginan mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya.
• Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunnya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.
• Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
• Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibatunya tanpa menerapkan value judgments.
• Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka system.
• Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yangterjadi di dunia.
• Mampu mengidentifikasi pola-pola tingakh laku yang self-defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku nyang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan.
• Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak detensif terhadap pertanyaan “Siapakah saya?”
• Hackney dan Cormier menyebutkan karakteristik seorang konselor
• Kesadaran tentang diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri.
• Kesehatan psikologi yang baik.
• Sensitivitas terhadap dan pemahan tentang faktor-faktor rasial, etnik dan budaya dalam diri sendiri dan orang lain.
• Keterbukaan (open-mindedness).
• Objektivitas : Mengacu pada keampuan untuk melibatkan diri dengan klien disatu pihak, tetapi juga pada saat yang bersamaan berdiri di kejauhan dan melihat dengan akurat apa yang terjadi dengan kliennya dan hubungannya.
• Kompetensi : Tuntuan seorang konselor mempunyai pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk membantu.
• Dapat dipercaya (trustworthiness) : Termasuk didalamnya adalah kualitas-kualitas konselor seperti reliabilitas, tanggung jawab, standar etik, prediktabilitas.
• Interpersonal attractiveness.
Dengan mempunyai karateristik diatas, niscaya seorang konselor akan dapat menjadi efektif dalam memberikan bimbingan atau solusi pada klien.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
• Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
• Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya.
• Mampu “menjangkau” kedalam dan keluar.
• Berkeinginan mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya.
• Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunnya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.
• Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
• Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibatunya tanpa menerapkan value judgments.
• Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka system.
• Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yangterjadi di dunia.
• Mampu mengidentifikasi pola-pola tingakh laku yang self-defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku nyang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan.
• Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak detensif terhadap pertanyaan “Siapakah saya?”
• Hackney dan Cormier menyebutkan karakteristik seorang konselor
• Kesadaran tentang diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri.
• Kesehatan psikologi yang baik.
• Sensitivitas terhadap dan pemahan tentang faktor-faktor rasial, etnik dan budaya dalam diri sendiri dan orang lain.
• Keterbukaan (open-mindedness).
• Objektivitas : Mengacu pada keampuan untuk melibatkan diri dengan klien disatu pihak, tetapi juga pada saat yang bersamaan berdiri di kejauhan dan melihat dengan akurat apa yang terjadi dengan kliennya dan hubungannya.
• Kompetensi : Tuntuan seorang konselor mempunyai pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk membantu.
• Dapat dipercaya (trustworthiness) : Termasuk didalamnya adalah kualitas-kualitas konselor seperti reliabilitas, tanggung jawab, standar etik, prediktabilitas.
• Interpersonal attractiveness.
Dengan mempunyai karateristik diatas, niscaya seorang konselor akan dapat menjadi efektif dalam memberikan bimbingan atau solusi pada klien.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
2. Kompetensi (Competence)
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c. Penguasaan kemampuan assesmen
d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c. Penguasaan kemampuan assesmen
d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus
3. Kesehatan Psikologis yang Baik
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
4. Dapat Dipercaya (trustworthness)
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut :
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.
5. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan :
1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2. Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.
6. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut :
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.
5. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan :
1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2. Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.
6. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan prilaku berikut.
1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2. Bersifat fleksibel
3. Memilki identitas diri yang jelas
7. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
8. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
9. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2. Bersifat fleksibel
3. Memilki identitas diri yang jelas
7. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
8. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
9. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
10.Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
11. Kesadaran Holistik
Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
• Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
• Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
• Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
11. Kesadaran Holistik
Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
• Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
• Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
• Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Analisis
Apabila hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang antara lain:
– Pengetahuan akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
– Kompetensi, disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
– Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
– Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
– Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
– Sedangkan apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.
Kesimpulan
Meskipun terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu, karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
Apabila hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang antara lain:
– Pengetahuan akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
– Kompetensi, disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
– Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
– Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
– Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
– Sedangkan apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.
Kesimpulan
Meskipun terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu, karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
PERSYARATAN KONSELORØ
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang dalam kegiatan utamanya scara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruktusional dan kurikuler, dan pembinaan siswa. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik namun kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Oleh sebab itu, adanya bimbingan dan konseling secara langsung antara seorang konselor dengan konseli atau klien sangat dibutuhkan.
Pentingnya bimbingan dalam pendidikan, menuntut seorang konselor memiliki syrat-syarat yang selayaknya ia miliki sebagai seorang pembimbing untuk kelancaranya dalam melaksanakan bimbingan konseling.
A. Syarat-Syarat Pembimbing (Konselor) di Sekolah
Arifin dan Eti Kartikawati (1994/1995) menyatakan bahwa: petugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi
(1) kepribadian,
(2) pendidikan,
(3) pengalaman kerja,
(4) kemampuan.
Berdasarkan kualifikasi tersebut,untuk memilih dan mengangkat seorang petugas bimbingan (konselor) di sekolah harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan kepribadiannya,pendidikannya, pengalamannya, dan kemampuannya.
1. Kepribadian Petugas Bimbingan
Syarat petugas bimbingan di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Polmantier (1966) telah mengadakan survei dan studi mengenai sifat-sifat kepribadian konselor menyatakan:
a. Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan persetif.
b. Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan social
c. Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
d. Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
e. Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
f. Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya
Jones menyebutkan 7 sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor:
a. Tingkah laku yang etis
b. Kemampuan intelektual
c. Keluwesan (flexibility)
d. Sikap penerimaan (acceptance)
e. Pemahaman (understanding)
f. Peka terhadap rahasia pribadi
g. Komunikasi
Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor, yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli. Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli melihat perasaanya sendiri.
2. Pendidikan
Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan (pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
3. Pengalaman
Seorang konselor harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun mengajar, banyak membimbing berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan banyak pengalaman dalam organisasi. Corak pengalaman yang dimiliki seorang konselor akan membantunya mendiagnosis dan mencari alternative solusi terhadap klien.
4. Kemampuan
Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). M.D. Dahlan (1987) menyatakan bahwa konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif.
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang dalam kegiatan utamanya scara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruktusional dan kurikuler, dan pembinaan siswa. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik namun kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Oleh sebab itu, adanya bimbingan dan konseling secara langsung antara seorang konselor dengan konseli atau klien sangat dibutuhkan.
Pentingnya bimbingan dalam pendidikan, menuntut seorang konselor memiliki syrat-syarat yang selayaknya ia miliki sebagai seorang pembimbing untuk kelancaranya dalam melaksanakan bimbingan konseling.
A. Syarat-Syarat Pembimbing (Konselor) di Sekolah
Arifin dan Eti Kartikawati (1994/1995) menyatakan bahwa: petugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi
(1) kepribadian,
(2) pendidikan,
(3) pengalaman kerja,
(4) kemampuan.
Berdasarkan kualifikasi tersebut,untuk memilih dan mengangkat seorang petugas bimbingan (konselor) di sekolah harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan kepribadiannya,pendidikannya, pengalamannya, dan kemampuannya.
1. Kepribadian Petugas Bimbingan
Syarat petugas bimbingan di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Polmantier (1966) telah mengadakan survei dan studi mengenai sifat-sifat kepribadian konselor menyatakan:
a. Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan persetif.
b. Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan social
c. Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
d. Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
e. Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
f. Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya
Jones menyebutkan 7 sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor:
a. Tingkah laku yang etis
b. Kemampuan intelektual
c. Keluwesan (flexibility)
d. Sikap penerimaan (acceptance)
e. Pemahaman (understanding)
f. Peka terhadap rahasia pribadi
g. Komunikasi
Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor, yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli. Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli melihat perasaanya sendiri.
2. Pendidikan
Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan (pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
3. Pengalaman
Seorang konselor harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun mengajar, banyak membimbing berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan banyak pengalaman dalam organisasi. Corak pengalaman yang dimiliki seorang konselor akan membantunya mendiagnosis dan mencari alternative solusi terhadap klien.
4. Kemampuan
Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). M.D. Dahlan (1987) menyatakan bahwa konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif.
B. Ciri-ciri Kepribadian Konselor
Carlekhuff menyebutkan sembilan sifat kepribadian dalam diri konselor yang dapat menumbuhkan orang lain, yaitu :
1. Empati
Empati adalah kemampuan sesorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya. Orang yang memiliki tingkat empati tinggi akan menampakkan sifat bantuannya yang nyata dan berarti dalam hubungannya dengan orang lain, sementara mereka yang rendah tingkat empatinya menunjukkan sifat yang sevara nyata dan berarti merusak hubungan antarpribadi.
2. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa konselor menghargai martabat dan nilai konseli sebagai manusia. Hal ini mengandung arti juga bahwa konselor menerima kenyataan; setiap konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan, dan mampu membuat keputusannya sendiri.
3. Keaslian (Genuiness)
Keaslian merupakan kemampuan konselor manyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran, dan tidak mempertahankan diri. Konselor yang demikian selalu tampak keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. Tingkah lakunya sederhana, lugu dan wajar.
4. Kekonkretan (Concreteness)
Kekonkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai parasaan dan pengalaman orang lain. Seorang konselor yang memilki kekonkretan tinggi selalu memelihara hubungan yang khusus dan selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi. Gagasan pikiran dan pengalamannya diselidiki secara mendalam. Konselor yang memilki kekonkretan selalu memelihara keserasian dalam hubungan dengan orang lain dan mencegah konseli melarikan diri dari masalah yang dihadapinya.
5. Konfrontasi (Confrontation)
Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan konseli dengan apa yang ia alami, atau antara yang ia katakan pada suatu saat dengan apa yang ia katakan sebelum itu. Variabel ini tidak dikontrol sepenuhnya oleh konselor, tetapi hal ini dapat dilaksanakan jika konselor merasakan cocok untuk dikonfrontasikan. Dalam situasi konseling umpanya terdapat banyak macam kemungkinan untuk dikonfrontasi.
6. Membuka Diri
Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada konseli dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang bersangkutan dengan masalah konseli.
7. Kesanggupan (Potency)
Kesanggupan dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis dan magnetis dari kualitas pribadi konselor. Konselor yang memiliki sifat potensi ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia dengan jelas tampak menguasai dirinya dan ia mampu menyalurkan kompetensinyan dan rasa aman kepada konseli.
8. Kesiapan (Immediacy)
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan disini. Tingkat kesiapan yang tinggi terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai hunungan antarpribadi yang terjadi antara konselor dengan konseli dalam situasi konseling. Hal ini sangat penting karena variabel ini menyediakan kesempatan untuk menggarap berbagai masalah kesukaran konseli dalam proses hubungabn, sehingga konseli dapat mengambil manfaat atau keuntungan melalui pengalaman ini. Konseli dapat belajar mengatur kembali hubungan antarpribadinya dan menemukan dirinya bahwa situasi konseling memungkinkan ia mengadakan konfrontasi, menunjukkan dirinya sendiri, dan mengekspresikan perasaannya, baik yang positif maupun negatif kepada orang lain dengan cukup aman. Dalam hal ini konselor meraasa terbuka dan dapat mendorong konseli untuk berani menghadapi dirinya dan menunjukkan dirinya secara bebas. Inilah yang menyebabkan konselor cepat merasa puas.
9. Aktualisasi Diri (Self-Actualization)
Dalam penelitian telah terbukti bahwa aktualisasi diri memiliki korelasi yang tinggi terhadap keberhasilan konseling. Aktualisasi diri dapat dipakai oleh konseli sebagai model terutama bagi konseli yang meminta bantuan kepadanya. Aktualisasi diri secara tak langsung menunjukkan bahwa orang dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara langsaung karena ia mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Mereka dapat mengungkapkan dirinya secara bebas dan terbuka. Mereka tidak mengadili orang lain. Konselor yang mampu mengaktualisasikan dirinya memiliki kemampuan mengadakan hubungan sosial yang hangat, intim, dan secara umum mereka sangat efektif dalam hidupnya.
Bailey, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyebutkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1.Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2.Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4.Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5.Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Sementara Cose, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyatakan ciri-ciri konselor yaitu adil, ikhlas, kepribadian, kelakuan baik, filsafat yang betul, pengenalan yang betul, sehat jasmani, emosi stabil, kemampuan membuat persahabatan, kemampuan menyertai orang lain, memahami orang lain dengan kasih sayang, memperhatikan orang lain, memahami perbedaan pendapat, lincah dan serasi, cerdas, sadar mental pengetahuan sosial, luas pengetahuan, bakat, kepemimpinan, merasakan segi-segi kelemahan, sikap positif terhadap tugas, peka terhadap pelaksanaan misi, condong kepada pekerjaan jenis itu, mengerti suasana pengajaran, dan memahami keadaan sosial-ekonomi.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang konselor mempunyai ciri yang dapat dibagi menjadi ciri kepribadian dan ciri sikap, yaitu :
1. Ciri kepribadian :
– Kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain.
– Ramah, bersemangat, dan percaya akan kemampuan untuk bertambah baik.
-Kemampuan untuk menanamkan kepercayaan pada orang lain dan membuat hubungan cepat.
– Penyesuaian dan kematangan jiwa.
– Mampu bertahan objektif dalam hubungan kemanusiaan.
– Penilaian dan pengukuran yang betul.
– Bersedia bekerja lebih daripada kewajiban.
– Mengerti berbagai persoalan dan ingin mengatasinya.
– Berkeinginan betul untuk meningkat dalam pekerjaan.
2. Ciri sikap :
– Kecondongan yang sungguh untuk mengatasi kesukaran penyesuaian remaja.
– Kemampuan untuk mencapai kelegaan karena menolong orang dalam mengatasi kesukarannya.
– Penghormatan yang betul kepada orang dan bebas dari memihak/ kefanatikan.
– Mengakui adanya perbedaan individual dan menerimanya, ingin memahami laku orang dan tidak menilainya.
– Kemampuan untuk memahami diri dan menerimanya sehingga bebas dari keinginan untuk menimpakan perasaan kepada orang lain atau mengidentifikasikan diri kepada kepribadian mereka.
– Mengakui segi-segi kelemahan pada pengetahuan/ metode yang digunakan atau keadaan pekerjaan dan menerima kelemahan tersebut.
– Menerima klien untuk mendapatkan haknya untuk membuat keputusan bagi dirinya.
– Memperhatiakn masyarakat tempat ia hidup dengan segala aturan soaial ekonominya serta kesukarannya.
– Sikap objektif yang matang terhadap siswa dan guru, serta orangtua dan anggota masyarakat tempat ia hidup.
C. Hubungan Konselor dan Klien
1. Hubungan konselor dengan Klien
a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas dan keyakinan klien
b.Konselor wajib menempatkan kepentingan kliennya diatas kepentingan pribadinya
c.Konselor tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial tertentu
d.Konselor tidak akan memaksa seseorang untuk memberi bantuan pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan
e. Konselor wajib memeberi pelayanan kepada siapapun terlebih dalam keadaan darurat atau banyak orang menghendakinya
f. Konselor wajib memberikan pelayan hingga tuntas sepanjang dikehendaki klien
g. Konselor wajib menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing dalam hubungan professional
h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap klien
i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan profesional kepada sanak saudara, teman-teman karibnya sepanjang hubunganya professional
2. Hubungan dalam Pemberian Pelayanan
a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor
b. Klien sepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil konkrit
c. Sebaliknya Konselor tidak akan melanjutkan hubungan bila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan tersebut.
3. Konsultasi Dan Hubungan Dengan Rekan Sejawat
a. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Jikalau Konselor merasa ragu dalam pemberian pelayanan konseling, maka Ia wajib berkonsultasi dengan rekan sejawat selingkungan profesi dengan seijin kliennya.
b. Alih Tangan kasus
1. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan klien bila dia menyadari tidak dapat memberikan bantuan pada klien
2. Bila pengiriman ke ahli disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada orang atau badan yang punya keahlian yg relevan.
3. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke ahli lain, namun klien menolak pergi melakukannya, maka konselor mempertimbangkan apa baik dan buruknya.
Jadi, tugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi (1) kepribadian, (2) pendidikan, (3) pengalaman kerja, dan (4) kemampuan.
Beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1. Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2. Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5. Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Carlekhuff menyebutkan sembilan sifat kepribadian dalam diri konselor yang dapat menumbuhkan orang lain, yaitu :
1. Empati
Empati adalah kemampuan sesorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya. Orang yang memiliki tingkat empati tinggi akan menampakkan sifat bantuannya yang nyata dan berarti dalam hubungannya dengan orang lain, sementara mereka yang rendah tingkat empatinya menunjukkan sifat yang sevara nyata dan berarti merusak hubungan antarpribadi.
2. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa konselor menghargai martabat dan nilai konseli sebagai manusia. Hal ini mengandung arti juga bahwa konselor menerima kenyataan; setiap konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan, dan mampu membuat keputusannya sendiri.
3. Keaslian (Genuiness)
Keaslian merupakan kemampuan konselor manyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran, dan tidak mempertahankan diri. Konselor yang demikian selalu tampak keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. Tingkah lakunya sederhana, lugu dan wajar.
4. Kekonkretan (Concreteness)
Kekonkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai parasaan dan pengalaman orang lain. Seorang konselor yang memilki kekonkretan tinggi selalu memelihara hubungan yang khusus dan selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi. Gagasan pikiran dan pengalamannya diselidiki secara mendalam. Konselor yang memilki kekonkretan selalu memelihara keserasian dalam hubungan dengan orang lain dan mencegah konseli melarikan diri dari masalah yang dihadapinya.
5. Konfrontasi (Confrontation)
Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan konseli dengan apa yang ia alami, atau antara yang ia katakan pada suatu saat dengan apa yang ia katakan sebelum itu. Variabel ini tidak dikontrol sepenuhnya oleh konselor, tetapi hal ini dapat dilaksanakan jika konselor merasakan cocok untuk dikonfrontasikan. Dalam situasi konseling umpanya terdapat banyak macam kemungkinan untuk dikonfrontasi.
6. Membuka Diri
Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada konseli dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang bersangkutan dengan masalah konseli.
7. Kesanggupan (Potency)
Kesanggupan dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis dan magnetis dari kualitas pribadi konselor. Konselor yang memiliki sifat potensi ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia dengan jelas tampak menguasai dirinya dan ia mampu menyalurkan kompetensinyan dan rasa aman kepada konseli.
8. Kesiapan (Immediacy)
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan disini. Tingkat kesiapan yang tinggi terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai hunungan antarpribadi yang terjadi antara konselor dengan konseli dalam situasi konseling. Hal ini sangat penting karena variabel ini menyediakan kesempatan untuk menggarap berbagai masalah kesukaran konseli dalam proses hubungabn, sehingga konseli dapat mengambil manfaat atau keuntungan melalui pengalaman ini. Konseli dapat belajar mengatur kembali hubungan antarpribadinya dan menemukan dirinya bahwa situasi konseling memungkinkan ia mengadakan konfrontasi, menunjukkan dirinya sendiri, dan mengekspresikan perasaannya, baik yang positif maupun negatif kepada orang lain dengan cukup aman. Dalam hal ini konselor meraasa terbuka dan dapat mendorong konseli untuk berani menghadapi dirinya dan menunjukkan dirinya secara bebas. Inilah yang menyebabkan konselor cepat merasa puas.
9. Aktualisasi Diri (Self-Actualization)
Dalam penelitian telah terbukti bahwa aktualisasi diri memiliki korelasi yang tinggi terhadap keberhasilan konseling. Aktualisasi diri dapat dipakai oleh konseli sebagai model terutama bagi konseli yang meminta bantuan kepadanya. Aktualisasi diri secara tak langsung menunjukkan bahwa orang dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara langsaung karena ia mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Mereka dapat mengungkapkan dirinya secara bebas dan terbuka. Mereka tidak mengadili orang lain. Konselor yang mampu mengaktualisasikan dirinya memiliki kemampuan mengadakan hubungan sosial yang hangat, intim, dan secara umum mereka sangat efektif dalam hidupnya.
Bailey, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyebutkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1.Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2.Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4.Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5.Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Sementara Cose, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyatakan ciri-ciri konselor yaitu adil, ikhlas, kepribadian, kelakuan baik, filsafat yang betul, pengenalan yang betul, sehat jasmani, emosi stabil, kemampuan membuat persahabatan, kemampuan menyertai orang lain, memahami orang lain dengan kasih sayang, memperhatikan orang lain, memahami perbedaan pendapat, lincah dan serasi, cerdas, sadar mental pengetahuan sosial, luas pengetahuan, bakat, kepemimpinan, merasakan segi-segi kelemahan, sikap positif terhadap tugas, peka terhadap pelaksanaan misi, condong kepada pekerjaan jenis itu, mengerti suasana pengajaran, dan memahami keadaan sosial-ekonomi.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang konselor mempunyai ciri yang dapat dibagi menjadi ciri kepribadian dan ciri sikap, yaitu :
1. Ciri kepribadian :
– Kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain.
– Ramah, bersemangat, dan percaya akan kemampuan untuk bertambah baik.
-Kemampuan untuk menanamkan kepercayaan pada orang lain dan membuat hubungan cepat.
– Penyesuaian dan kematangan jiwa.
– Mampu bertahan objektif dalam hubungan kemanusiaan.
– Penilaian dan pengukuran yang betul.
– Bersedia bekerja lebih daripada kewajiban.
– Mengerti berbagai persoalan dan ingin mengatasinya.
– Berkeinginan betul untuk meningkat dalam pekerjaan.
2. Ciri sikap :
– Kecondongan yang sungguh untuk mengatasi kesukaran penyesuaian remaja.
– Kemampuan untuk mencapai kelegaan karena menolong orang dalam mengatasi kesukarannya.
– Penghormatan yang betul kepada orang dan bebas dari memihak/ kefanatikan.
– Mengakui adanya perbedaan individual dan menerimanya, ingin memahami laku orang dan tidak menilainya.
– Kemampuan untuk memahami diri dan menerimanya sehingga bebas dari keinginan untuk menimpakan perasaan kepada orang lain atau mengidentifikasikan diri kepada kepribadian mereka.
– Mengakui segi-segi kelemahan pada pengetahuan/ metode yang digunakan atau keadaan pekerjaan dan menerima kelemahan tersebut.
– Menerima klien untuk mendapatkan haknya untuk membuat keputusan bagi dirinya.
– Memperhatiakn masyarakat tempat ia hidup dengan segala aturan soaial ekonominya serta kesukarannya.
– Sikap objektif yang matang terhadap siswa dan guru, serta orangtua dan anggota masyarakat tempat ia hidup.
C. Hubungan Konselor dan Klien
1. Hubungan konselor dengan Klien
a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas dan keyakinan klien
b.Konselor wajib menempatkan kepentingan kliennya diatas kepentingan pribadinya
c.Konselor tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial tertentu
d.Konselor tidak akan memaksa seseorang untuk memberi bantuan pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan
e. Konselor wajib memeberi pelayanan kepada siapapun terlebih dalam keadaan darurat atau banyak orang menghendakinya
f. Konselor wajib memberikan pelayan hingga tuntas sepanjang dikehendaki klien
g. Konselor wajib menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing dalam hubungan professional
h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap klien
i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan profesional kepada sanak saudara, teman-teman karibnya sepanjang hubunganya professional
2. Hubungan dalam Pemberian Pelayanan
a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor
b. Klien sepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil konkrit
c. Sebaliknya Konselor tidak akan melanjutkan hubungan bila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan tersebut.
3. Konsultasi Dan Hubungan Dengan Rekan Sejawat
a. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Jikalau Konselor merasa ragu dalam pemberian pelayanan konseling, maka Ia wajib berkonsultasi dengan rekan sejawat selingkungan profesi dengan seijin kliennya.
b. Alih Tangan kasus
1. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan klien bila dia menyadari tidak dapat memberikan bantuan pada klien
2. Bila pengiriman ke ahli disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada orang atau badan yang punya keahlian yg relevan.
3. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke ahli lain, namun klien menolak pergi melakukannya, maka konselor mempertimbangkan apa baik dan buruknya.
Jadi, tugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi (1) kepribadian, (2) pendidikan, (3) pengalaman kerja, dan (4) kemampuan.
Beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1. Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2. Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5. Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Pengertian Kode Etik BKØ
Etika Berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos. Yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.
Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan dan konseli
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesiang kepada konseli.
Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan dan konseli
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesiang kepada konseli.
1. Dasar Kode Etik Konselor
Pancasila, mengingat profesi bimbingan dan konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung jawab.
Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn norma-norma yang berlaku.
Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn norma-norma yang berlaku.
UU yg mengatur Kode Etik Konselor :
1. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Tujuan Kode Etik
1. Mendukung misi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
2. Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima layanan.
3. Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4. Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5. Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta permasalahan yang datang dari anggota asosiasi.
2. Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima layanan.
3. Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4. Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5. Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta permasalahan yang datang dari anggota asosiasi.
Keharusan dalam Kode Etik Konselor
1. Konselor harus memiliki kualifikasi sebagai seorang konselor yaitu (Bab II Klasifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor):
a. Memiliki nilai, sikap, ketrampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan dan konseling (S1 BK).
b. Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor (PPK).
2. Konselor harus mempunyai standar kompetensi sebagai seorang konselor yang meliputi kompetensi pedagogis, pribadi, sosial dan sosial.
3. Pelaksanaan kegiatan layanan
4. Pelaksanaan kegiatan layanan diatur dalam (Bab II Klasifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor)
a. Memiliki nilai, sikap, ketrampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan dan konseling (S1 BK).
b. Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor (PPK).
2. Konselor harus mempunyai standar kompetensi sebagai seorang konselor yang meliputi kompetensi pedagogis, pribadi, sosial dan sosial.
3. Pelaksanaan kegiatan layanan
4. Pelaksanaan kegiatan layanan diatur dalam (Bab II Klasifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor)
Harapan dalam Kode Etik Konselor
Yang diharapkan dari konselor yang diatur dalam kode etik adalah pemberian layanan dilakukan secara profesional dan efektif. Yang diahrapkan merupakan pemberian pelayanan dengan efektif dan menggunakan segala teknik dan kompetensi yang dimiliki konselor dalam layanan konselingnya.
Dengan adanya kode etik tersebut diharapkan konselor melakukan pelayanan mempertimbangkan pemberian layanan tepat sesuai dengan kondisi konseli.
Yang diharapkan dari konselor yang diatur dalam kode etik adalah pemberian layanan dilakukan secara profesional dan efektif. Yang diahrapkan merupakan pemberian pelayanan dengan efektif dan menggunakan segala teknik dan kompetensi yang dimiliki konselor dalam layanan konselingnya.
Dengan adanya kode etik tersebut diharapkan konselor melakukan pelayanan mempertimbangkan pemberian layanan tepat sesuai dengan kondisi konseli.
Pelanggaran terhadap konseli
◦ Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli
◦ Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
◦ Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
◦ Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
◦ Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli
◦ Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
◦ Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
◦ Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
Pelanggaran terhadap organisasi profesi
◦ Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
◦ Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).
Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
◦ Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
◦ Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.
Sangsi pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut:
1. Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2. Memberikan peringatan keras secara tertulis
3. Pencabutan keanggotan ABKIN
4. Pencabutan lisensi
5. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.
Mekanisme penerapan sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
2. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
3. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.
◦ Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
◦ Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).
Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
◦ Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
◦ Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.
Sangsi pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut:
1. Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2. Memberikan peringatan keras secara tertulis
3. Pencabutan keanggotan ABKIN
4. Pencabutan lisensi
5. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.
Mekanisme penerapan sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
2. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
3. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.
A. Ada beberapa pendapat tentang pengertian profesi, diantaranya adalah sebagai berikut:
Profesi merupakan suatu pekerjaan atau atau jabatan yang menuntut keahlian dari para petugasnya (Prayitno dan Erman Amti, 2004: 38). 2. Profesi merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku (Dirjen Dikti Depdiknas, 2004: 5). 3. Kekuatan dan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja tenaga professional dengan kepercayaan publik (public trust).
• Ciri-ciri Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan tetapi tidak setiap pekerjaan merupakan profesi. Adapun pekerjaan yang tergolong profesi memiliki cirri-ciri sebagai berikut. 1)P rofesi adalah pekerjaan yang menuntut keahlian bagi para pelaku, baik keahlian teoritis maupun keahlian dalam praktik. 2) Keahlian tersebut dipersiapkan secara khusus melalui pendidikan yang khusus sesuai dengan profesi tersebut. 3) Profesi merupakan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat. 4) Tenaga professional dalam melakukan tugasnya terikat oleh kode etik profesi. 5) Para tenaga professional tergabung dalam suatu organisasi profesi.
• Konselor Merupakan Suatu Profesi
Konselor merupakan suatu profesi karena bidang pekerjaan yang dilakukan oleh para konselor hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah dipersiapkan secara khusus, melalui profesionalisasi, untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Dasar Pemikiran Standarisasi Profesi Konselor
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik,sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor,widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003Pasal 1 Ayat 6). Kesejajaran posisi ini tidaklah berarti bahwasemua tenaga pendidik itu tanpa keunikan konteks tugas danekspektasi kinerja. Demikian juga konselor memiliki keunikankonteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis samadengan guru. Hal ini mengandungimplikasi bahwa untukmasing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, perludisusun standar kualifikasi akademik dan kompetensi berdasarkepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja masing-masing.
Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan sertapemikiran yang telah dikaji, bisa ditegaskan bahwa pelayananahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselorberada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yangbertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalananhidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikantermasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraihserta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupanyang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi wargamasyarakat yang peduli kemaslahatan umum melaluipendidikan”.
Sedangkan ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakanpenyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan “the reflective practitioner”.
Dengan mempertimbangkan berbagai kenyataan sertapemikiran yang telah dikaji, bisa ditegaskan bahwa pelayananahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh Konselorberada dalam konteks tugas “kawasan pelayanan yangbertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalananhidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikantermasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraihserta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupanyang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi wargamasyarakat yang peduli kemaslahatan umum melaluipendidikan”.
Sedangkan ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakanpenyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pengampu pelayanan profesional itu juga dinamakan “the reflective practitioner”.
KOMPETENSI KONSELORØ
Sebagaimana lazimnya dalam suatu profesi, sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Akademik Konselor
Sebagaimana layanan ahli pada bidang lain seperti akuntansi, notariat dan layanan medik, kompetensi akademik konselor yang utuh diperoleh melalui Program S-1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds.)1, 1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan profesional konsekutif sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan profesional guru. Kompetensi akademik seorang Konselor Profesional terdiri atas kemampuan:
a. Mengenal secara mendalam konseli2 yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi bukan saja kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai Inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerikal-matematik yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepan- kan kemampuan berpikir analitik, melainkan juga seyogyanya melebar ke segenap spektrum kemam- puan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan inteligensi multipel (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berpikir sintetik dan kemampuan berpikir praktikal di samping kemampuan berpikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motivasi dan keuletannya dalam belajar dan/atau yang diharapkan akan menerus sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.l. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka pikir yang memperhadapkan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfasilitasian (helping professions), dalam ke arah patologik yang merupakan kawasan garapan psikiater atau menyandang kelainan yang merupakan kawasan garapan terapis untuk berbagai bidang yang bersifat khas dalam Pendidikan Luar Biasa. mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyikapan yang empatik, mengormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.
b. Menguasai khasanah teoretik dan prosedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoretik dan prosedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt, Z dan J. Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :
1) Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penye-lenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
2) Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyeleng- garaan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
3) Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu profesi, sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Akademik Konselor
Sebagaimana layanan ahli pada bidang lain seperti akuntansi, notariat dan layanan medik, kompetensi akademik konselor yang utuh diperoleh melalui Program S-1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds.)1, 1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan profesional konsekutif sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan profesional guru. Kompetensi akademik seorang Konselor Profesional terdiri atas kemampuan:
a. Mengenal secara mendalam konseli2 yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi bukan saja kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai Inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerikal-matematik yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepan- kan kemampuan berpikir analitik, melainkan juga seyogyanya melebar ke segenap spektrum kemam- puan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan inteligensi multipel (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berpikir sintetik dan kemampuan berpikir praktikal di samping kemampuan berpikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motivasi dan keuletannya dalam belajar dan/atau yang diharapkan akan menerus sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.l. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka pikir yang memperhadapkan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfasilitasian (helping professions), dalam ke arah patologik yang merupakan kawasan garapan psikiater atau menyandang kelainan yang merupakan kawasan garapan terapis untuk berbagai bidang yang bersifat khas dalam Pendidikan Luar Biasa. mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyikapan yang empatik, mengormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.
b. Menguasai khasanah teoretik dan prosedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoretik dan prosedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt, Z dan J. Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :
1) Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penye-lenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
2) Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyeleng- garaan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
3) Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan.
Untuk menyeleng-garakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan (Gysbers, N. C. dan P. Henderson, 2006), seorang konselor harus mampu :
a. Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
b. Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian sambil jalan (mid- course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d. Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan- nya, Konselor perlu membiasakan diri mengguna- kan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka pikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyeleng- garakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.
b. Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian-penyesuaian sambil jalan (mid- course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d. Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Sebagai pekerja profesional yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan- nya, Konselor perlu membiasakan diri mengguna- kan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka pikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyeleng- garakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.
Kompetensi akademik sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikuasai melalui pendidikan akademik dengan menu kurikuler yang mencakup kajian tentang Pedagogi, Psikologi Perkembangan, Psikologi Belajar, Bimbingan dan Konseling serta beberapa bidang penunjang seperti Filsafat Pendidikan, Sosiologi, Antropologi budaya, Dinamika Kelompok, Budaya Organisasi Kelas dan Sekolah, di samping kajian tentang program pendidikan dalam sistem pendidikan formal, Strategi Bimbingan dan Konseling serta Strategi Pem- belajaran, Asesmen bakat dan minat konseli di samping asesmen proses dan hasil pembelajaran, Dinamika Kelompok, Pengelolaan Kelas dan sebagainya, dengan beban studi minimum 144 SKS.
• Asesmen Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan dan Konseling
• Asesmen Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan dan Konseling
Penguasaan Kompetensi Akademik dalam bimbingan dan konseling sebagaimana digambarkan di atas dapat ditagih melalui ujian tertulis baik yang berupa tes pilihan (multiple choice) yang sangat efektif untuk melakukan survai kemampuan yang dimiliki serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok calon konselor yang berjumlah besar maupun melalui berbagai asesmen individual untuk mengases kemampuan dan minat serta permasalahan yang dihadapi oleh calon konselor sebagai perorangan. Demi tranparansi, sarana uji kompetensi akademik ini dapat dikembangkan secara terpusat dan dimutakhirkan serta divalidasi secara berkala dengan memanfaatkan teknologi yang relevan di bidang asesmen. Mahasiswa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi calon konselor, dianugerahi ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling. Ijasah S-1 Bimbingan dan Konseling ini merupakan pra-syarat untuk diperkenankan mengikuti Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan selama dua semester.
2. Kompetensi Profesional Konselor
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice) sampai dengan latihan mandiri (self-initiated practice) dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong3 (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan profesional konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan kemampuan calon konselor dalam meng-gunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil (minute if-then decisionsatau tacit knowledge) yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan. Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam per-tumbuhan penguasaan kiat profesional dalam penyeleng-garaan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh profesional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli (safe practitioner (lihat kembali, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, 2003; Schone, 1983; Corey, 2001; Hogan-Garcia, 2003; Sternberg, 2003).
Asesmen Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor Penguasaan akademik,Ø
penguasaan kemampuan profesional hanya dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakanhigh-inference assessment instrument, yang telah beredar dilingkungan LPTK sejak awal dekade 1980-an. Ini berarti bahwa perlu dikembangkan sarana asesmen yang serupa di bidang bimbingan dan konseling. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah diisyaratkan di atas adalah bahwa asesmen kemampuan profesional konselor itu tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot ataumoment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan terlebih-lebih penting lagi, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja konselor. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pelayanan bimbingan dan konseling dalam kurun waktu tertentu. Demi transparansi, asesmen penguasaan kompetensi profesional calon konselor itu dilakukan dengan menggunakan penguji luar baik dosen Bimbingan dan Konseling yang berasal dari LPTK lain, unsur Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) maupun konselor pamong yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional konselor melalui Program Pendidikan Profesional Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan sebagaimana dipaparkan dalam bagian ini, dianugerahi Sertifikat Konselor dan berhak mencantumkan singkatan gelar profesi “Kons” di belakang namanya.
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-sungguh (rigorous), yang terentang mulai dari observasi dalam rangka pengenalan lapangan, latihan keterampilan dasar penyelenggaraan konseling, latihan terbimbing (supervised practice) yang kemudian terus meningkat menjadi latihan melalui penugasan terstruktur (self-managed practice) sampai dengan latihan mandiri (self-initiated practice) dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong3 (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan profesional konselor, maka kriteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan kemampuan calon konselor dalam meng-gunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil (minute if-then decisionsatau tacit knowledge) yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan. Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam per-tumbuhan penguasaan kiat profesional dalam penyeleng-garaan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh profesional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli (safe practitioner (lihat kembali, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, 2003; Schone, 1983; Corey, 2001; Hogan-Garcia, 2003; Sternberg, 2003).
Asesmen Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor Penguasaan akademik,Ø
penguasaan kemampuan profesional hanya dapat diverifikasi melalui pengamatan ahli yang, dalam pelaksanaannya, juga sering mempersyaratkan penggunaan sarana asesmen yang longgar untuk memberikan ruang gerak bagi diambilnya pertimbangan ahli secara langsung (on-the-spot expert judgement) misalnya sarana asesmen yang menyerupai Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG) yang merupakanhigh-inference assessment instrument, yang telah beredar dilingkungan LPTK sejak awal dekade 1980-an. Ini berarti bahwa perlu dikembangkan sarana asesmen yang serupa di bidang bimbingan dan konseling. Yang juga perlu dicatat sebagaimana telah diisyaratkan di atas adalah bahwa asesmen kemampuan profesional konselor itu tidak cukup apabila hanya dilaksanakan melalui pemotretan sesaat (snapshot ataumoment opname), melainkan harus melalui pengamatan berulang, karena sasaran asesmen penguasaan kompetensi profesional itu bukan hanya difokuskan kepada sisi tingkatan kemampuan (maximum behavior) melainkan, dan terlebih-lebih penting lagi, adalah kualitas keseharian (typical behavior) kinerja konselor. Ini berarti bahwa, asesmen penguasaan kemampuan profesional itu perlu lebih mengedepankan rekam jejak (track record) dalam penyelenggaraan pengelolaan pelayanan bimbingan dan konseling dalam kurun waktu tertentu. Demi transparansi, asesmen penguasaan kompetensi profesional calon konselor itu dilakukan dengan menggunakan penguji luar baik dosen Bimbingan dan Konseling yang berasal dari LPTK lain, unsur Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) maupun konselor pamong yang berasal dari sekolah lain. Mahasiwa yang berhasil dengan baik menguasai kompetensi profesional konselor melalui Program Pendidikan Profesional Konselor yang berupa Progam Pengalaman Lapangan sebagaimana dipaparkan dalam bagian ini, dianugerahi Sertifikat Konselor dan berhak mencantumkan singkatan gelar profesi “Kons” di belakang namanya.
KAREKTERISTIK KONSELOR MENURUT BEBERAPA AHLIØ
Dalam memberikan bimbingan atau arahan pada klien, konselor haruslah mempunyai karateristik. Adapun karateristik konselor yang efektif dalam memberikan arahan amaupun solusi terhadap klien yaitu hal hal yang akan di jelaskan di bawah ini.
Penelitian-penelitaian dari beberapa para ahli yang dikutip oleh Brammer, Abrego & Shostrom (1993) :
• Sikap hangat
• Dapat memahami
• Positiv regard
• Self-revealing
• Kondisi fasilitatif sehingga dapat membantu perubahan pada klien
• Keterbukaan dalam diri konselor
Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karakterisitik konselor yang efektif adalah:
Penelitian-penelitaian dari beberapa para ahli yang dikutip oleh Brammer, Abrego & Shostrom (1993) :
• Sikap hangat
• Dapat memahami
• Positiv regard
• Self-revealing
• Kondisi fasilitatif sehingga dapat membantu perubahan pada klien
• Keterbukaan dalam diri konselor
Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karakterisitik konselor yang efektif adalah:
1) Congruence (Genuineness, Authenticity)
Kongruensi itu sangat penting sebagai dasar sikap yang harus dipunyai oleh seorang konselor. Ia harus paham tentang dirinya sendiri, berarti pikiran, perasaan dan pengalamannya haruslah serasi. Kalau seseorang mempunyai pengalaman marah, maka perasaan dan pikirannya harus marah, yang tercermin pula dalam tindakannya. Ia harus memahami bias-bias yang ada dalam dirinya, prasangka-prasangka yang mewarnai pikirannya. Ia harus tau kelemahan dan asset-aset yang dipunyainya. Kalau ia menyadari hal ini, ia dapat membuat pembedaan antara dirinya dan orang lain. Ia tahu bahwa orang lain bukandirinya
2) Unconditional positive regard (Acceptance)
Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu ditunjukan oleh seorang konselor kepada kliennya.. Ia harus dapat menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya mempunyai nilai-nilai sendiri, kebutuhan-kebutuhan sendiri yang lain darpada yang dimiliki olehnya.
Asumsi dasar yang melandasi Acceptande adalah :
• Individu mempunyai infinite worth and dignity. Individu mempunyai harkat dan martabat yang tak terbatas.
• Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.
• Orang mempunyai kamampuan atau potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna secara sosial.
• Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
• Individu mempunyai infinite worth and dignity. Individu mempunyai harkat dan martabat yang tak terbatas.
• Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk menjalani hidupnya sendiri.
• Orang mempunyai kamampuan atau potensi untuk memilih secara bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna secara sosial.
• Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
3) Empati
Empati adalah konsep yang sepertinya mudah dipahami sulit untuk dicerna. Empati itu sangat sederhana, yaitu dengan memahami orang lain dari sudut kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan orang yang melakukan empati harus yang “kuat”, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang lain. Review hal 57 – 64 Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa karakteristik konselor yang efektif sebagai berikut :
• Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
• Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya.
• Mampu “menjangkau” kedalam dan keluar.
• Berkeinginan mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya.
• Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunnya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.
• Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
• Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibatunya tanpa menerapkan value judgments.
• Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka system.
• Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yangterjadi di dunia.
• Mampu mengidentifikasi pola-pola tingakh laku yang self-defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku nyang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan.
• Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak detensif terhadap pertanyaan “Siapakah saya?”
• Hackney dan Cormier menyebutkan karakteristik seorang konselor
• Kesadaran tentang diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri.
• Kesehatan psikologi yang baik.
• Sensitivitas terhadap dan pemahan tentang faktor-faktor rasial, etnik dan budaya dalam diri sendiri dan orang lain.
• Keterbukaan (open-mindedness).
• Objektivitas : Mengacu pada keampuan untuk melibatkan diri dengan klien disatu pihak, tetapi juga pada saat yang bersamaan berdiri di kejauhan dan melihat dengan akurat apa yang terjadi dengan kliennya dan hubungannya.
• Kompetensi : Tuntuan seorang konselor mempunyai pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk membantu.
• Dapat dipercaya (trustworthiness) : Termasuk didalamnya adalah kualitas-kualitas konselor seperti reliabilitas, tanggung jawab, standar etik, prediktabilitas.
• Interpersonal attractiveness.
Dengan mempunyai karateristik diatas, niscaya seorang konselor akan dapat menjadi efektif dalam memberikan bimbingan atau solusi pada klien.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
• Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
• Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya.
• Mampu “menjangkau” kedalam dan keluar.
• Berkeinginan mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya.
• Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunnya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.
• Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
• Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibatunya tanpa menerapkan value judgments.
• Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka system.
• Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yangterjadi di dunia.
• Mampu mengidentifikasi pola-pola tingakh laku yang self-defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku nyang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan.
• Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak detensif terhadap pertanyaan “Siapakah saya?”
• Hackney dan Cormier menyebutkan karakteristik seorang konselor
• Kesadaran tentang diri (self-awareness) dan pemahaman diri sendiri.
• Kesehatan psikologi yang baik.
• Sensitivitas terhadap dan pemahan tentang faktor-faktor rasial, etnik dan budaya dalam diri sendiri dan orang lain.
• Keterbukaan (open-mindedness).
• Objektivitas : Mengacu pada keampuan untuk melibatkan diri dengan klien disatu pihak, tetapi juga pada saat yang bersamaan berdiri di kejauhan dan melihat dengan akurat apa yang terjadi dengan kliennya dan hubungannya.
• Kompetensi : Tuntuan seorang konselor mempunyai pengetahuan, informasi dan keterampilan untuk membantu.
• Dapat dipercaya (trustworthiness) : Termasuk didalamnya adalah kualitas-kualitas konselor seperti reliabilitas, tanggung jawab, standar etik, prediktabilitas.
• Interpersonal attractiveness.
Dengan mempunyai karateristik diatas, niscaya seorang konselor akan dapat menjadi efektif dalam memberikan bimbingan atau solusi pada klien.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
2. Kompetensi (Competence)
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c. Penguasaan kemampuan assesmen
d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c. Penguasaan kemampuan assesmen
d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus
3. Kesehatan Psikologis yang Baik
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
4. Dapat Dipercaya (trustworthness)
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut :
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.
5. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan :
1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2. Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.
6. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut :
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.
5. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan :
1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2. Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.
6. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan prilaku berikut.
1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2. Bersifat fleksibel
3. Memilki identitas diri yang jelas
7. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
8. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
9. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2. Bersifat fleksibel
3. Memilki identitas diri yang jelas
7. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
8. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
9. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
10.Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
11. Kesadaran Holistik
Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
• Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
• Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
• Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
11. Kesadaran Holistik
Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
• Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
• Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
• Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Analisis
Apabila hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang antara lain:
– Pengetahuan akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
– Kompetensi, disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
– Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
– Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
– Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
– Sedangkan apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.
Kesimpulan
Meskipun terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu, karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
Apabila hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang antara lain:
– Pengetahuan akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
– Kompetensi, disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
– Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
– Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
– Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
– Sedangkan apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.
Kesimpulan
Meskipun terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu, karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
PERSYARATAN KONSELORØ
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang dalam kegiatan utamanya scara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruktusional dan kurikuler, dan pembinaan siswa. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik namun kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Oleh sebab itu, adanya bimbingan dan konseling secara langsung antara seorang konselor dengan konseli atau klien sangat dibutuhkan.
Pentingnya bimbingan dalam pendidikan, menuntut seorang konselor memiliki syrat-syarat yang selayaknya ia miliki sebagai seorang pembimbing untuk kelancaranya dalam melaksanakan bimbingan konseling.
A. Syarat-Syarat Pembimbing (Konselor) di Sekolah
Arifin dan Eti Kartikawati (1994/1995) menyatakan bahwa: petugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi
(1) kepribadian,
(2) pendidikan,
(3) pengalaman kerja,
(4) kemampuan.
Berdasarkan kualifikasi tersebut,untuk memilih dan mengangkat seorang petugas bimbingan (konselor) di sekolah harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan kepribadiannya,pendidikannya, pengalamannya, dan kemampuannya.
1. Kepribadian Petugas Bimbingan
Syarat petugas bimbingan di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Polmantier (1966) telah mengadakan survei dan studi mengenai sifat-sifat kepribadian konselor menyatakan:
a. Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan persetif.
b. Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan social
c. Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
d. Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
e. Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
f. Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya
Jones menyebutkan 7 sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor:
a. Tingkah laku yang etis
b. Kemampuan intelektual
c. Keluwesan (flexibility)
d. Sikap penerimaan (acceptance)
e. Pemahaman (understanding)
f. Peka terhadap rahasia pribadi
g. Komunikasi
Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor, yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli. Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli melihat perasaanya sendiri.
2. Pendidikan
Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan (pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
3. Pengalaman
Seorang konselor harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun mengajar, banyak membimbing berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan banyak pengalaman dalam organisasi. Corak pengalaman yang dimiliki seorang konselor akan membantunya mendiagnosis dan mencari alternative solusi terhadap klien.
4. Kemampuan
Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). M.D. Dahlan (1987) menyatakan bahwa konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif.
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang dalam kegiatan utamanya scara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruktusional dan kurikuler, dan pembinaan siswa. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik namun kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Oleh sebab itu, adanya bimbingan dan konseling secara langsung antara seorang konselor dengan konseli atau klien sangat dibutuhkan.
Pentingnya bimbingan dalam pendidikan, menuntut seorang konselor memiliki syrat-syarat yang selayaknya ia miliki sebagai seorang pembimbing untuk kelancaranya dalam melaksanakan bimbingan konseling.
A. Syarat-Syarat Pembimbing (Konselor) di Sekolah
Arifin dan Eti Kartikawati (1994/1995) menyatakan bahwa: petugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi
(1) kepribadian,
(2) pendidikan,
(3) pengalaman kerja,
(4) kemampuan.
Berdasarkan kualifikasi tersebut,untuk memilih dan mengangkat seorang petugas bimbingan (konselor) di sekolah harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan kepribadiannya,pendidikannya, pengalamannya, dan kemampuannya.
1. Kepribadian Petugas Bimbingan
Syarat petugas bimbingan di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Polmantier (1966) telah mengadakan survei dan studi mengenai sifat-sifat kepribadian konselor menyatakan:
a. Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan persetif.
b. Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan social
c. Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan menggunakan kliennya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
d. Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
e. Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
f. Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa klien menyesuaikan dirinya
Jones menyebutkan 7 sifat yang harus dimiliki oleh seorang konselor:
a. Tingkah laku yang etis
b. Kemampuan intelektual
c. Keluwesan (flexibility)
d. Sikap penerimaan (acceptance)
e. Pemahaman (understanding)
f. Peka terhadap rahasia pribadi
g. Komunikasi
Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor, yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli. Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli melihat perasaanya sendiri.
2. Pendidikan
Seorang guru pembimbing atau konselor profesional selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling Strata Satu (S1), S2 maupun S3. Atau sekurang-kurannya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
Seorang guru pembimbing atau konselor nonprofessional yakni alumni fakultas keguruan atau tarbiyah dapat diangkat menjadi seorang konselor profesional, tetapi harus mengikuti terlebih dahulu pendidikan tambahan (pendididkan profesi) dalam bidang bimbingan dan konseling.
Syarat pendidikan berkenaan dengan keilmuan yang dimiliki oleh guru pembimbing atau konselor. Konselor tidak saja harus memiliki ilmu bimbingan dan konseling, tetapi juga harus memiliki pengetahuan psikologi, bimbingan, dan konseling keterampilan komunikasi sosial dan konseling.
3. Pengalaman
Seorang konselor harus memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun mengajar, banyak membimbing berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan banyak pengalaman dalam organisasi. Corak pengalaman yang dimiliki seorang konselor akan membantunya mendiagnosis dan mencari alternative solusi terhadap klien.
4. Kemampuan
Seorang pembimbing harus memiliki kemampuan (kompetensi). M.D. Dahlan (1987) menyatakan bahwa konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Guru pembimbing atau konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong seseorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif.
B. Ciri-ciri Kepribadian Konselor
Carlekhuff menyebutkan sembilan sifat kepribadian dalam diri konselor yang dapat menumbuhkan orang lain, yaitu :
1. Empati
Empati adalah kemampuan sesorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya. Orang yang memiliki tingkat empati tinggi akan menampakkan sifat bantuannya yang nyata dan berarti dalam hubungannya dengan orang lain, sementara mereka yang rendah tingkat empatinya menunjukkan sifat yang sevara nyata dan berarti merusak hubungan antarpribadi.
2. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa konselor menghargai martabat dan nilai konseli sebagai manusia. Hal ini mengandung arti juga bahwa konselor menerima kenyataan; setiap konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan, dan mampu membuat keputusannya sendiri.
3. Keaslian (Genuiness)
Keaslian merupakan kemampuan konselor manyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran, dan tidak mempertahankan diri. Konselor yang demikian selalu tampak keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. Tingkah lakunya sederhana, lugu dan wajar.
4. Kekonkretan (Concreteness)
Kekonkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai parasaan dan pengalaman orang lain. Seorang konselor yang memilki kekonkretan tinggi selalu memelihara hubungan yang khusus dan selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi. Gagasan pikiran dan pengalamannya diselidiki secara mendalam. Konselor yang memilki kekonkretan selalu memelihara keserasian dalam hubungan dengan orang lain dan mencegah konseli melarikan diri dari masalah yang dihadapinya.
5. Konfrontasi (Confrontation)
Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan konseli dengan apa yang ia alami, atau antara yang ia katakan pada suatu saat dengan apa yang ia katakan sebelum itu. Variabel ini tidak dikontrol sepenuhnya oleh konselor, tetapi hal ini dapat dilaksanakan jika konselor merasakan cocok untuk dikonfrontasikan. Dalam situasi konseling umpanya terdapat banyak macam kemungkinan untuk dikonfrontasi.
6. Membuka Diri
Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada konseli dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang bersangkutan dengan masalah konseli.
7. Kesanggupan (Potency)
Kesanggupan dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis dan magnetis dari kualitas pribadi konselor. Konselor yang memiliki sifat potensi ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia dengan jelas tampak menguasai dirinya dan ia mampu menyalurkan kompetensinyan dan rasa aman kepada konseli.
8. Kesiapan (Immediacy)
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan disini. Tingkat kesiapan yang tinggi terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai hunungan antarpribadi yang terjadi antara konselor dengan konseli dalam situasi konseling. Hal ini sangat penting karena variabel ini menyediakan kesempatan untuk menggarap berbagai masalah kesukaran konseli dalam proses hubungabn, sehingga konseli dapat mengambil manfaat atau keuntungan melalui pengalaman ini. Konseli dapat belajar mengatur kembali hubungan antarpribadinya dan menemukan dirinya bahwa situasi konseling memungkinkan ia mengadakan konfrontasi, menunjukkan dirinya sendiri, dan mengekspresikan perasaannya, baik yang positif maupun negatif kepada orang lain dengan cukup aman. Dalam hal ini konselor meraasa terbuka dan dapat mendorong konseli untuk berani menghadapi dirinya dan menunjukkan dirinya secara bebas. Inilah yang menyebabkan konselor cepat merasa puas.
9. Aktualisasi Diri (Self-Actualization)
Dalam penelitian telah terbukti bahwa aktualisasi diri memiliki korelasi yang tinggi terhadap keberhasilan konseling. Aktualisasi diri dapat dipakai oleh konseli sebagai model terutama bagi konseli yang meminta bantuan kepadanya. Aktualisasi diri secara tak langsung menunjukkan bahwa orang dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara langsaung karena ia mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Mereka dapat mengungkapkan dirinya secara bebas dan terbuka. Mereka tidak mengadili orang lain. Konselor yang mampu mengaktualisasikan dirinya memiliki kemampuan mengadakan hubungan sosial yang hangat, intim, dan secara umum mereka sangat efektif dalam hidupnya.
Bailey, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyebutkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1.Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2.Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4.Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5.Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Sementara Cose, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyatakan ciri-ciri konselor yaitu adil, ikhlas, kepribadian, kelakuan baik, filsafat yang betul, pengenalan yang betul, sehat jasmani, emosi stabil, kemampuan membuat persahabatan, kemampuan menyertai orang lain, memahami orang lain dengan kasih sayang, memperhatikan orang lain, memahami perbedaan pendapat, lincah dan serasi, cerdas, sadar mental pengetahuan sosial, luas pengetahuan, bakat, kepemimpinan, merasakan segi-segi kelemahan, sikap positif terhadap tugas, peka terhadap pelaksanaan misi, condong kepada pekerjaan jenis itu, mengerti suasana pengajaran, dan memahami keadaan sosial-ekonomi.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang konselor mempunyai ciri yang dapat dibagi menjadi ciri kepribadian dan ciri sikap, yaitu :
1. Ciri kepribadian :
– Kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain.
– Ramah, bersemangat, dan percaya akan kemampuan untuk bertambah baik.
-Kemampuan untuk menanamkan kepercayaan pada orang lain dan membuat hubungan cepat.
– Penyesuaian dan kematangan jiwa.
– Mampu bertahan objektif dalam hubungan kemanusiaan.
– Penilaian dan pengukuran yang betul.
– Bersedia bekerja lebih daripada kewajiban.
– Mengerti berbagai persoalan dan ingin mengatasinya.
– Berkeinginan betul untuk meningkat dalam pekerjaan.
2. Ciri sikap :
– Kecondongan yang sungguh untuk mengatasi kesukaran penyesuaian remaja.
– Kemampuan untuk mencapai kelegaan karena menolong orang dalam mengatasi kesukarannya.
– Penghormatan yang betul kepada orang dan bebas dari memihak/ kefanatikan.
– Mengakui adanya perbedaan individual dan menerimanya, ingin memahami laku orang dan tidak menilainya.
– Kemampuan untuk memahami diri dan menerimanya sehingga bebas dari keinginan untuk menimpakan perasaan kepada orang lain atau mengidentifikasikan diri kepada kepribadian mereka.
– Mengakui segi-segi kelemahan pada pengetahuan/ metode yang digunakan atau keadaan pekerjaan dan menerima kelemahan tersebut.
– Menerima klien untuk mendapatkan haknya untuk membuat keputusan bagi dirinya.
– Memperhatiakn masyarakat tempat ia hidup dengan segala aturan soaial ekonominya serta kesukarannya.
– Sikap objektif yang matang terhadap siswa dan guru, serta orangtua dan anggota masyarakat tempat ia hidup.
C. Hubungan Konselor dan Klien
1. Hubungan konselor dengan Klien
a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas dan keyakinan klien
b.Konselor wajib menempatkan kepentingan kliennya diatas kepentingan pribadinya
c.Konselor tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial tertentu
d.Konselor tidak akan memaksa seseorang untuk memberi bantuan pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan
e. Konselor wajib memeberi pelayanan kepada siapapun terlebih dalam keadaan darurat atau banyak orang menghendakinya
f. Konselor wajib memberikan pelayan hingga tuntas sepanjang dikehendaki klien
g. Konselor wajib menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing dalam hubungan professional
h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap klien
i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan profesional kepada sanak saudara, teman-teman karibnya sepanjang hubunganya professional
2. Hubungan dalam Pemberian Pelayanan
a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor
b. Klien sepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil konkrit
c. Sebaliknya Konselor tidak akan melanjutkan hubungan bila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan tersebut.
3. Konsultasi Dan Hubungan Dengan Rekan Sejawat
a. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Jikalau Konselor merasa ragu dalam pemberian pelayanan konseling, maka Ia wajib berkonsultasi dengan rekan sejawat selingkungan profesi dengan seijin kliennya.
b. Alih Tangan kasus
1. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan klien bila dia menyadari tidak dapat memberikan bantuan pada klien
2. Bila pengiriman ke ahli disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada orang atau badan yang punya keahlian yg relevan.
3. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke ahli lain, namun klien menolak pergi melakukannya, maka konselor mempertimbangkan apa baik dan buruknya.
Jadi, tugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi (1) kepribadian, (2) pendidikan, (3) pengalaman kerja, dan (4) kemampuan.
Beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1. Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2. Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5. Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Carlekhuff menyebutkan sembilan sifat kepribadian dalam diri konselor yang dapat menumbuhkan orang lain, yaitu :
1. Empati
Empati adalah kemampuan sesorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya. Orang yang memiliki tingkat empati tinggi akan menampakkan sifat bantuannya yang nyata dan berarti dalam hubungannya dengan orang lain, sementara mereka yang rendah tingkat empatinya menunjukkan sifat yang sevara nyata dan berarti merusak hubungan antarpribadi.
2. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa konselor menghargai martabat dan nilai konseli sebagai manusia. Hal ini mengandung arti juga bahwa konselor menerima kenyataan; setiap konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan, dan mampu membuat keputusannya sendiri.
3. Keaslian (Genuiness)
Keaslian merupakan kemampuan konselor manyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak bermain peran, dan tidak mempertahankan diri. Konselor yang demikian selalu tampak keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. Tingkah lakunya sederhana, lugu dan wajar.
4. Kekonkretan (Concreteness)
Kekonkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai parasaan dan pengalaman orang lain. Seorang konselor yang memilki kekonkretan tinggi selalu memelihara hubungan yang khusus dan selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, dimana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi. Gagasan pikiran dan pengalamannya diselidiki secara mendalam. Konselor yang memilki kekonkretan selalu memelihara keserasian dalam hubungan dengan orang lain dan mencegah konseli melarikan diri dari masalah yang dihadapinya.
5. Konfrontasi (Confrontation)
Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan konseli dengan apa yang ia alami, atau antara yang ia katakan pada suatu saat dengan apa yang ia katakan sebelum itu. Variabel ini tidak dikontrol sepenuhnya oleh konselor, tetapi hal ini dapat dilaksanakan jika konselor merasakan cocok untuk dikonfrontasikan. Dalam situasi konseling umpanya terdapat banyak macam kemungkinan untuk dikonfrontasi.
6. Membuka Diri
Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada konseli dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang bersangkutan dengan masalah konseli.
7. Kesanggupan (Potency)
Kesanggupan dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis dan magnetis dari kualitas pribadi konselor. Konselor yang memiliki sifat potensi ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia dengan jelas tampak menguasai dirinya dan ia mampu menyalurkan kompetensinyan dan rasa aman kepada konseli.
8. Kesiapan (Immediacy)
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan disini. Tingkat kesiapan yang tinggi terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai hunungan antarpribadi yang terjadi antara konselor dengan konseli dalam situasi konseling. Hal ini sangat penting karena variabel ini menyediakan kesempatan untuk menggarap berbagai masalah kesukaran konseli dalam proses hubungabn, sehingga konseli dapat mengambil manfaat atau keuntungan melalui pengalaman ini. Konseli dapat belajar mengatur kembali hubungan antarpribadinya dan menemukan dirinya bahwa situasi konseling memungkinkan ia mengadakan konfrontasi, menunjukkan dirinya sendiri, dan mengekspresikan perasaannya, baik yang positif maupun negatif kepada orang lain dengan cukup aman. Dalam hal ini konselor meraasa terbuka dan dapat mendorong konseli untuk berani menghadapi dirinya dan menunjukkan dirinya secara bebas. Inilah yang menyebabkan konselor cepat merasa puas.
9. Aktualisasi Diri (Self-Actualization)
Dalam penelitian telah terbukti bahwa aktualisasi diri memiliki korelasi yang tinggi terhadap keberhasilan konseling. Aktualisasi diri dapat dipakai oleh konseli sebagai model terutama bagi konseli yang meminta bantuan kepadanya. Aktualisasi diri secara tak langsung menunjukkan bahwa orang dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara langsaung karena ia mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Mereka dapat mengungkapkan dirinya secara bebas dan terbuka. Mereka tidak mengadili orang lain. Konselor yang mampu mengaktualisasikan dirinya memiliki kemampuan mengadakan hubungan sosial yang hangat, intim, dan secara umum mereka sangat efektif dalam hidupnya.
Bailey, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyebutkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1.Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2.Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4.Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5.Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Sementara Cose, seperti dikutip oleh Attia M. Hana, menyatakan ciri-ciri konselor yaitu adil, ikhlas, kepribadian, kelakuan baik, filsafat yang betul, pengenalan yang betul, sehat jasmani, emosi stabil, kemampuan membuat persahabatan, kemampuan menyertai orang lain, memahami orang lain dengan kasih sayang, memperhatikan orang lain, memahami perbedaan pendapat, lincah dan serasi, cerdas, sadar mental pengetahuan sosial, luas pengetahuan, bakat, kepemimpinan, merasakan segi-segi kelemahan, sikap positif terhadap tugas, peka terhadap pelaksanaan misi, condong kepada pekerjaan jenis itu, mengerti suasana pengajaran, dan memahami keadaan sosial-ekonomi.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang konselor mempunyai ciri yang dapat dibagi menjadi ciri kepribadian dan ciri sikap, yaitu :
1. Ciri kepribadian :
– Kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain.
– Ramah, bersemangat, dan percaya akan kemampuan untuk bertambah baik.
-Kemampuan untuk menanamkan kepercayaan pada orang lain dan membuat hubungan cepat.
– Penyesuaian dan kematangan jiwa.
– Mampu bertahan objektif dalam hubungan kemanusiaan.
– Penilaian dan pengukuran yang betul.
– Bersedia bekerja lebih daripada kewajiban.
– Mengerti berbagai persoalan dan ingin mengatasinya.
– Berkeinginan betul untuk meningkat dalam pekerjaan.
2. Ciri sikap :
– Kecondongan yang sungguh untuk mengatasi kesukaran penyesuaian remaja.
– Kemampuan untuk mencapai kelegaan karena menolong orang dalam mengatasi kesukarannya.
– Penghormatan yang betul kepada orang dan bebas dari memihak/ kefanatikan.
– Mengakui adanya perbedaan individual dan menerimanya, ingin memahami laku orang dan tidak menilainya.
– Kemampuan untuk memahami diri dan menerimanya sehingga bebas dari keinginan untuk menimpakan perasaan kepada orang lain atau mengidentifikasikan diri kepada kepribadian mereka.
– Mengakui segi-segi kelemahan pada pengetahuan/ metode yang digunakan atau keadaan pekerjaan dan menerima kelemahan tersebut.
– Menerima klien untuk mendapatkan haknya untuk membuat keputusan bagi dirinya.
– Memperhatiakn masyarakat tempat ia hidup dengan segala aturan soaial ekonominya serta kesukarannya.
– Sikap objektif yang matang terhadap siswa dan guru, serta orangtua dan anggota masyarakat tempat ia hidup.
C. Hubungan Konselor dan Klien
1. Hubungan konselor dengan Klien
a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas dan keyakinan klien
b.Konselor wajib menempatkan kepentingan kliennya diatas kepentingan pribadinya
c.Konselor tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial tertentu
d.Konselor tidak akan memaksa seseorang untuk memberi bantuan pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan
e. Konselor wajib memeberi pelayanan kepada siapapun terlebih dalam keadaan darurat atau banyak orang menghendakinya
f. Konselor wajib memberikan pelayan hingga tuntas sepanjang dikehendaki klien
g. Konselor wajib menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing dalam hubungan professional
h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap klien
i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan profesional kepada sanak saudara, teman-teman karibnya sepanjang hubunganya professional
2. Hubungan dalam Pemberian Pelayanan
a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor
b. Klien sepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil konkrit
c. Sebaliknya Konselor tidak akan melanjutkan hubungan bila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan tersebut.
3. Konsultasi Dan Hubungan Dengan Rekan Sejawat
a. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Jikalau Konselor merasa ragu dalam pemberian pelayanan konseling, maka Ia wajib berkonsultasi dengan rekan sejawat selingkungan profesi dengan seijin kliennya.
b. Alih Tangan kasus
1. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan klien bila dia menyadari tidak dapat memberikan bantuan pada klien
2. Bila pengiriman ke ahli disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada orang atau badan yang punya keahlian yg relevan.
3. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke ahli lain, namun klien menolak pergi melakukannya, maka konselor mempertimbangkan apa baik dan buruknya.
Jadi, tugas bimbingan dan konseling di sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi (1) kepribadian, (2) pendidikan, (3) pengalaman kerja, dan (4) kemampuan.
Beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pembimbing/ konselor, diantaranya :
1. Memiliki sifat penting pendidik pada umumya, yaitu ikhlas, adil, pengetahuan sosial, sehat jasmani dean rohani, dll.
2. Pengenalan terhadap pemuda dengan pengertian yang disertai oleh kasih sayang.
3. Kestabilan emosi.
4. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dan menarik perhatiannya.
5. Luas pengetahuan, bakat, dan pengenalan yang sehat dan penilaian yang tepat/ kuat.
Pengertian Kode Etik BKØ
Etika Berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos. Yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.
Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan dan konseli
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesiang kepada konseli.
Etika Profesi Bimbingan dan Konseling adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan dan konseli
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi Bimbingan dan Konseling Indonesiang kepada konseli.
1. Dasar Kode Etik Konselor
Pancasila, mengingat profesi bimbingan dan konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung jawab.
Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn norma-norma yang berlaku.
Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn norma-norma yang berlaku.
UU yg mengatur Kode Etik Konselor :
1. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Tujuan Kode Etik
1. Mendukung misi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
2. Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima layanan.
3. Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4. Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5. Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta permasalahan yang datang dari anggota asosiasi.
2. Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima layanan.
3. Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4. Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5. Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta permasalahan yang datang dari anggota asosiasi.
Keharusan dalam Kode Etik Konselor
1. Konselor harus memiliki kualifikasi sebagai seorang konselor yaitu (Bab II Klasifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor):
a. Memiliki nilai, sikap, ketrampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan dan konseling (S1 BK).
b. Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor (PPK).
2. Konselor harus mempunyai standar kompetensi sebagai seorang konselor yang meliputi kompetensi pedagogis, pribadi, sosial dan sosial.
3. Pelaksanaan kegiatan layanan
4. Pelaksanaan kegiatan layanan diatur dalam (Bab II Klasifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor)
a. Memiliki nilai, sikap, ketrampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan dan konseling (S1 BK).
b. Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor (PPK).
2. Konselor harus mempunyai standar kompetensi sebagai seorang konselor yang meliputi kompetensi pedagogis, pribadi, sosial dan sosial.
3. Pelaksanaan kegiatan layanan
4. Pelaksanaan kegiatan layanan diatur dalam (Bab II Klasifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor)
Harapan dalam Kode Etik Konselor
Yang diharapkan dari konselor yang diatur dalam kode etik adalah pemberian layanan dilakukan secara profesional dan efektif. Yang diahrapkan merupakan pemberian pelayanan dengan efektif dan menggunakan segala teknik dan kompetensi yang dimiliki konselor dalam layanan konselingnya.
Dengan adanya kode etik tersebut diharapkan konselor melakukan pelayanan mempertimbangkan pemberian layanan tepat sesuai dengan kondisi konseli.
Yang diharapkan dari konselor yang diatur dalam kode etik adalah pemberian layanan dilakukan secara profesional dan efektif. Yang diahrapkan merupakan pemberian pelayanan dengan efektif dan menggunakan segala teknik dan kompetensi yang dimiliki konselor dalam layanan konselingnya.
Dengan adanya kode etik tersebut diharapkan konselor melakukan pelayanan mempertimbangkan pemberian layanan tepat sesuai dengan kondisi konseli.
Pelanggaran terhadap konseli
◦ Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli
◦ Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
◦ Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
◦ Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
◦ Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli
◦ Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
◦ Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
◦ Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
Pelanggaran terhadap organisasi profesi
◦ Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
◦ Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).
Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
◦ Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
◦ Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.
Sangsi pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut:
1. Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2. Memberikan peringatan keras secara tertulis
3. Pencabutan keanggotan ABKIN
4. Pencabutan lisensi
5. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.
Mekanisme penerapan sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
2. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
3. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.
◦ Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
◦ Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).
Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
◦ Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
◦ Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.
Sangsi pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut:
1. Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
2. Memberikan peringatan keras secara tertulis
3. Pencabutan keanggotan ABKIN
4. Pencabutan lisensi
5. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.
Mekanisme penerapan sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat
2. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah
3. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.