Masukan kata kunci di sini

Post Unggulan

Daftar Acara TV dan Stasiun TV dengan Rating Tertinggi Terbaru Bulan November

DAFTAR ACARA TV , Ini dia gaes daftar acara TV dan juga Stasiun dengan rating tertinggi bulan November. Semoga aja daftar acara tv kalian m...

Kepribadian Seorang Konselor


Kepribadian seorang konselor merupakan faktor yang paling penting dalam konseling.  Seperti yang dinyatakan Perez, “temuan penelitian menunjukan bahwa pengalaman, orientasi teoritis yang digunakan bukanlah penentu utama efektivitas seorang terapis, akan tetapi kualitas pribadi konselor, bukan pendidik dan pelatihannyasebagai criteria dalam evaluasi  keefektifannya.”


Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik.Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan kepribadian yang berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling. Namun, ketika titik tumpu ini lemah, yaitu dalam keadaan kepribadian konselor tidak banyak membantu, maka penegetahuan dan keterampilan konselor tidak akan efektif digunakan, atau akan digunakan dalam cara – cara yang merusak. Kualitas kepribadian konselor, pengetahuan mengenai perilaku, dan keterampilan konseling, masing – masing tidak dapat saling menggantikan.Kepribadian yang baik tetapi dengan kekurangan pengetahuan dan keterampilan ibarat seorang supir yang mengendarai tidak aman.
Keyakinan bahwa kepribadian konselor merupakan kunci yang berpengaruh dalam hubungan konseling, Akan tetapi kepribadian konselor tidak dapat mengganti kekurangan pengetahuan tentang perilaku dan keterampilan terapeutik. Kualitas kepribadian tidak sama dengan proses perolehan pengetahuan tentang perilku dan keterampilan terapeutik. Kualitas kepribadian berkembang dari perpaduan yang terjadi terus menerus antara genetika, konstitusi, pengaruh lingkungan, dan cara – cara unik dalam memadukan semua itu sehingga menjadi pribadi yang khas.
            Pendidikan dan pelatihan lebih berpengaruh pada pertumbuhan secara kuantitaif  dari pada kualitatif, Atau dengan kata lain, Pendidikan dan pelatihan tidak banyak membantu orang untuk berembang menjadi dirinya sendiri. Dalam rangka menumbuh kembangkan karakter konselor professional menuju tradisi nilai untuk dinilai dibutuhkan tiga proses berkelanjutan, yaitu :
  1. Menggali nilai – nilai karakter konselorprofesional yang dibutuhkan.
  2. Implementasi tradisi nilai ke dalam proses pembelajaran
  3. Evaluasi Brand image : menuju tradisi nilai untuk dinilai.
Menumbuh-kembangkan karakter konselor professional merupakan upaya perjalanan budaya akademik dimana tradisi nilai yang dihidupkan menjadi pedoman atau pegangan bersama civitas akademik konseling didalam institusinya.
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator/psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi.Peran ini merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan keilmuan dan praktik profesional konselor sebagai layanan yang menunjukkan keunikan dan kebermaknaan tersendiri di dalam masyarakat (ABKIN, 2008).
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum.Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling (Permendiknas, nomor 27 tahun 2008).
Dalam konsep bimbingan dan konseling komprehensif, konselor akan dihadapkan kepada individu yang sedang menjalani tahap perkembangan tertentu dengan tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya. Karena itu, peran konselor dalam kegiatan bimbingan dan konseling tidak hanya membantu memecahkan masalah siswanya.
Selain itu konselor sekolah dilihat dari fungsi dan peranannya melalui penelitian Stinzi dan Hutcheon (Aisyah, 2006: 18) menunjukkan bahwa peranan konselor sekolah menurut harapan siswa adalah: (1) menjadi sumber informasi karir atau lowongan dan karir kerja, (2) terbuka untuk diskusi masalah pribadi-sosial, (3) tidak menjadi petugas disiplin (disiplinarian), namun terbuka untuk  konsultasi masalah-masalah disiplin,            (4) mengijinkan siswa untuk mengambil keputusan sendiri, (5) menjadi orang yang dapat dipercaya oleh siswa, (6) memberikan oreintasi kepada siswa baru, (7) mendorong terciptanya kebijakan yang terbuka.
Di antara kompetensi konselor, yang paling penting adalah kualitas pribadi konselor  karena konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secara utuh, tepat, dan berarti serta membangun hubungan antarpribadi (interpersonal)  yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif dan kreatif sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini, Corey (1986: 358-361), menyatakan “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (our self as a person). Pada bagian dari tulisannya itu, ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa “… para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri bisa meinaikkan tingkat kesadaran (self awarness)”konselor.
Brammer (1979: 4) mendeskripsikan kualifikasi konselor sekolah sebagai pribadi memiliki sifat-sifat dan sumber kepribadian seperti memiliki perhatian pada orang lain, bertanggung jawab, empati, sensitivitas dan sebagainnya. Menurut Furqon (2001) ditemukan bahwa konselor sekurang-kurangnya perlu memiliki tiga kompetensi, di samping perlu dukungan kondisi yang kontekstual dan lingkungan, yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti (core competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies).
Kompetensi pribadi (personal competencies) merujuk kepada kualitas pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membina hubungan baik antarpribadi (rapport) secara sehat, etos kerja dan komitmen profesional, landasan etik dan moral dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk mengembangkan diri, serta berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah.
Pribadi konselor merupakan ‘instrumen’ yang menentukan bagi adanya hasil yang positif dalam proses konseling. Kondisi ini akan didukung oleh keterampilan konselor mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan konselinya. Pemaduan secara harmonis dua instrumen ini (pribadi dan keterampilan) akan memperbesar peluang keberhasilan konselor.
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik dan terciptanya layanan bimbingan dan konseling secara efektif, sebagaimana adanya tuntutan profesi, konselor harus memiliki kualitas pribadi.Keberhasilan konseling lebih tergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan kecermatan teknik. Mengenai ini, Tyler (1969) menyatakan: “…success  in counseling depend more upon personal qualities than upon correct use of specified techniques”. Pribadi konselor yang amat penting mendukung efektivitas perannya adalah pribadi yang altuistis (rela berkorban) untuk kepentingan konseli.
Brammer juga mengakui adanya kesepakatan helper tentang pentingnya pribadi konselor sebagai alat yang mengefektifkan proses konseling, ia mengatakan: “A general dictum among people helpers says that if I want to become more affective I must begun with my self; own personalities thus the principal tools of the helping process…” ( Brammer, 1979: 25).
Kemudian Hobbs menyatakan bahwa: “idealnya sebagai seorang konselor adalah memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya”, Hanset, et.al. (Benyamin, 1995: 27).
Adapun yang dimaksud kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut segala aspek kepibadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika disbandingkan dengan pendidikan dan latihan yang diperolehnya (Willis, 2004: 79).
Allport (Blocher, 1974: 93-94) menggambarkan hakikat pribadi yang matang secara psikologis adalah sebagai berikut.
  1. Memiliki kesadaran yang cukup luas tentang diri sendiri dan orang lain. Maksudnya adalah memilki kasih sayang, mempunyai kecenderungan seks yang sehat, sadar akan kekuatan sendiri, namun juga mempunyai kesadaran untuk tunduk dan menghargai orang lain.
  2.  Hangat dalam hubungan dengan individu lain. Individu yang matang dapat menciptakan dan memelihara keintiman dan kecintaan terhadap orang lain. Hubungan antar pribadinya ditandai oleh empati dan keharuan.
  3. Emosi stabil. Kematangan emosional timbul dari penerimaan dirinya, dengan kematangan emosional seseorang dapat memelihara pandangan yang realistik dan melakukan pengawasan terhadap tata alur “sinyal-sinyal” perasaan.
  4. Realistik dalam persepsi, keterampilan, dan pekerjaan. Tiap individu yang matang dapat berfungsi secara efisien dalam wilayah persepsi dan kognisi, dalam arti memiliki perilaku intelektual yang realistik dan akurat. Di samping itu dapat memfokuskan energinya pada pekerjaan yang cocok dengan perkembangannya.
  5. Realistik terhadap diri dan wawasan. Individu yang matang dapat mengerti dirinya.
  6. Mempunyai kesatuan pendekatan mengenai kehidupan. Tiap individu yang matang mampu menyusun beberapa kesatuan pendekatan menghadapi kehidupan, sehingga memeberikan konsistensi dan arti bagi tingkah lakunya.
Konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secaran utuh, tepat, dan berarti serta mampu membangun hubungan antarpribadi(interpersonal) yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif, dan kreatif, sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Corey (1986: 358-361) menyatakan bahwa “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (your self as a person).  Bahkan pada bagian lain dari tulisannya itu ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa:” …para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri dapat menaikkan tingkat kesadaran diri (self awareness)”.
  1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri
Pengetahuan diri sendiri (self knowledge) mempunyai makna bahwa konselor mengetahui secara baik tentang dirinya, apa yang dilakukan, mengapa melakukan itu, masalah yang dihadapi, dan masalah klien yang terkait dengan konseling. Pentingnya pengetahuan konselor tentang dirinya sendiri dengan alasan, pertama,  seorang konselor yang mengetahui persepsi dirinya dengan baik cenderung mengetahui persepsi diri klien yang sedang dibantu. Kedua, keterampilan konselor yang digunakan untuk memahami dirinya adalah keterampilan yang sama untuk memahami diri klien. Dengan demikian semakin besar kemampuan yang dimiliki, semakin besar pulakemungkinan untuk memahami klien.Ketiga,  konselor yang telah memiliki keterampilanyang digunakan untuk memahami diri sendiri memungkinkan konselor mengajarkan kepada klien. Keempat, pengetahuan diri sendiri memungkinkan konselor merasakan dan berkomunikasi secara baik dengan klien. Kualitas konselor yang tinggi, tingkat pengetahuannya terhadap diri sendiri, menunjukan karakteristik sebagai berikut :
  1. Menyadari Kebutuhannya. Sebagai konselor, harus mengenal bahwa mereka menyadari akan kebutuhan yang harus dicapai, seperti merasa penting, merasa dibutuhakan, memiliki kelebihan, terkendali, memiliki kekuasaan dan tegas.
  2. Menyadari Perasaannya. Perasaan terluka, takut, marah, bersalah, mencintai atau seks, menjadi bagian dari respon sebagai konselor dalam konseling. Kondisi perasaan itu akan banyak berpengaruh terhadap situasi hubungan konseling. Oleh karena itu, konselor harus menyadari dan mampu mngendalikannya selama konseling berlangsung.
  3. Menyadari apa yang membuat cemas selama konseling, dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi kecemasan. Dalam konseling sering terjadi serangan terhadap konselor yang dapat menimbulkan kecemasan seperti pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan, seksualitas, moral, nilai – nilai terapeutik, dsb. Konselor harus menyadari pertahanan yang dilakukan untuk menghindari kecemasan seperti : pasif atau dominan; berharap klien akan merasa bersalah dan menghentikan serangan; mengubah topic; segera menjadi nondirektif dan reflektif;mencaci;menyalahkan, atau menakut-nakuti.
  4. Menyadari kelebihan dan kekurangan diri. Kesadaran akan kelebihan dan kekurangan diri akan membantu konselor dalam mengefektifkan hubungan konseling. Dengan kelebihannya, konselor dapat meningkatkan wibawa dan pengaruhnya terhadap klien, sementara kesadaran akan kelemahan mendorong konselor untuk senantiasa memperbaiki diri.
Suatu hambatan yang sering terjadi dalam mewujudkan pengetahuan tentang diri sendiri adalah  konselor menggunakan pertahanan yang sama dilakukan oleh klien dalam melindungi diri sendiri dari ketepatan memandang dirinya dan pekerjaannya.
  1. Kompetensi
Kompetensi (competence) mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien.Kompetensi ini sangat penting bagi konselor, karena klien datang pada konseling untuk belajar dan mengembangkan potensi yang dibutuhkan untuk mencapai hidup yang lebih efektif dan bahagia.Peranan seorang konselor ialah untuk mengajarkan semua kompetensi ini kepada klien.Oleh karena itu maka banyak kompetensi yang dimiliki konselor, makin besar kemungkinan konselor dapat membantu klien baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memperoleh kompetensi hidup.
Hal yang mebedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah pada kompetensi konselor.  konselor yang efektif memiliki kombinasi kompetensi pengetahuan akademik, kualitas kepribadian, dan keterampilan membantu.
Seorang konselor yang senantiasa berusaha menjadi lebih kompeten memiliki ciri – ciri  : (a) secara berkelanjutan senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan tentang perilaku dan konseling antara lain melalui bacaan, menghindari konferensi atau seminar, mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan rekan sejawat, (b) senantiasa mencari – mencari pengalaman – pengalaman hidup yang baru yang dapat membantunya meningkatkan kompetensi dan mempertajam keterampilannya, (c) senantiasa mencoba berbagi gagasan dan pendekatan dalam konseling, (d) senantiasa melakukan penilaian dalam setiap langkah konseling untuk mencapai keefektifan konseling. Peningkatan kompetensi konselor sering terhambat oleh adanya mitos bahwa tingkatan akademik dan jumlah pengalaman akan secara otomatis meningkatkan kualitas seorang menjadi konselor yang efektif.
Unjuk kerja  konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh  sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
  1. Kompetensi Pedagogik
Konselor rehabilitasi disyaratkan memiliki kompetensi pedagogik, sebab konseling rehabilitasi tidak bisa dilakukan dengan melepaskan diri dari ilmu-ilmu  dan praktik pedagogik. Karena itu konselor rehabilitasi harus memiliki:
(1) penguasaan teori dan praktik pendidikan, seperti penguasaan (a) ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya, (b) implementasi prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran; serta (c) landasan budaya dalam praktik pendidikan.
(2) Konselor rehabilitasi harus memahami kaidah-kaidah perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku  konseli disabiliti, terutama berkaitan dengan kaidah-kaidah: (a) perilaku manusia pada umumnya, (b) perkembangan fisik dan psikologis individu, (c) kepribadian, (d) individualitas dan perbedaan konseli, (e) keberbakatan, (f) kesehatan mental dan (g) pembelajaran bagi konseli disabiliti;
(3) Konselor rehabilitasi harus menguasai esensi pelayanan konseling bagi konseli disabiliti dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan, baik pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal dan informal maupun pada satuan jenjang pendidikan  dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
  1. Kompetensi Kepribadian
Konselor adalah sosok yang harus mampu menampilkan diri sebagai pendidik, pengajar, penasihat, teman diskusi, bahkan menjadi lawan  berdebat  manakala konselinya menunjukkan kecenderungan berpikir yang irasional, tidak  kongruen antara pikiran dan perbuatan bahkan mungkin saat konseli tidak menunjukkan sebagai individu yang memiliki komitmen dan bertanggung jawab.
      Menteri Pendidikan Nasional, melalui Permendiknas nomor 27 tahun 2008 merinci kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor, yaitu sebagai berikut: (1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, di dalamnya terkandung: (a) menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain, (c) berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur; (2) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan, di dalamnya mengandung kemampuan konselor dalam: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi, (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya, (c) peduli terhadap kemaslahatan  manusia  pada umumnya dan konseli pada khususnya, (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya,(e) toleran terhadap permasalahan konseli, (f) bersikap demokratis;
(3) Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, yaitu dengan : (a) menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten),   (b) menampilkan emosi yang stabil, (c) peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan, (d) menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli   yang menghadapi stres dan frustrasi; (4) menampilkan kinerja berkualitas tinggi, seperti:           (a) menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif, (b) bersemangat, berdisiplin, dan mandiri, (c) berpenampilan menarik dan  menyenangkan, serta  (d) berkomunikasi secara efektif. 
  1. Kompetensi Sosial
Bagi seorang konselor rehabilitasi, kompetensi sosial tidak hanya merupakan dasar kemampuan untuk menjalin hubungan bantuan dengan konseli, akan tetapi bagi semua komponen yang memiliki keterkaitan dengan pekerjaan rehabilitasi dan kepentingan konseli serta lingkungannya. Artinya kompetensi sosial tidak hanya dibutuhkan untuk membangun hubungan bantuan dalam membuat rencana kehidupan konseli disabiliti tetapi diperlukan untuk mengembangkan jejaring dalam upaya meningkatkan efektivitas kinerjanya. Konselor yang memiliki kompetensi sosial dengan baik akan menunjukkan kemampuan: (1) kolaborasi intern di tempat bekerja, dengan (a) memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain dalam konseling rehabilitasi;  (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan konseling rehabilitasi kepada pihak-pihak lain, baik di tempat bekerja maupun kepada masyarakat luas; (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan konseling rehabilitasi (seperti pendidik, orang tua, dokter, psikolog, rokhaniawan, masyarakat, organisasi komunitas disabiliti dan organisasi profesi lain);
(2) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling. Dalam aspek ini konselor dituntut untuk: (a) memahami dasar, tujuan, anggaran dasar dan anggaran rumah atangga organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi, (b) mentaati kode etik profesi bimbingan dan konseling, (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi; (3) berkolaborasi dengan profesi lain, yaitu dalam: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain, (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling, (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain, dan  (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan.
  1. Kompetensi Profesional
          Konseling rehabilitasi bukan hanya pekerjaan teknis yang memerlukan penguasaan teknik dan keterampilan konseling, tetapi sebagai salah satu frame workbagi pengembangan pribadi individu baik konseli maupun konselor. Kuat tidaknya landasan filosofis yang memaknai manusia, landasan psikologis yang memberikan pemahaman terhadap keunikan manusia, landasan sosial budaya yang memberikan pemahaman tentang kultur, nilai dan moral individu dan kelompoknya, serta landasan religi yang memberikan pemahaman manusia tentang akidah serta nilai keagamaan yang dianutnya akan memberikan warna dan dampak yang sangat jelas dalam tujuan dan hasil konselingnya.
          Kompetensi profesional meliputi pemahaman dan penghayatan mendalam seorang konselor rehabilitasi mengenai  filsafat profesi atau kepakaran di bidang konseling rehabilitasi yang berkenaan dengan aspek religi, sosial budaya maupun aspek-aspek psikologisnya. Kompetensi ini hendaknya merupakan seperangkat perilaku nyata yang ditunjukkan oleh seorang konselor profesional dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan profesional atau keahliannya. Sebab tinggi dan rendahnya kualitas profesional seorang konselor akan berdampak langsung terhadap tinggi dan rendahnya pengakuan masyarakat luas dan imbalan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, seorang konselor profesional akan selalu  menjaga kualitas kinerja dan nama baik pribadi dan profesinya (Suherman AS, 2006).
  1. Kesehatan psikologis yang baik
Kesehatan psikologi yang baik akan mendasari pemahaman perilaku dan keterampilan dan pada gilirannya akan mengemabangkan satu daya yang positif dalam konseling. Karakteristik konselor yang memiliki kesehatan psikologis yang baik antara lain : (a) mencapai pemuasan kebutuhan seperti rasa aman, cinta memelihara, kekuatan, seksual, dan perhatian diluar hubungan konseling. (b) tidak membawa pengalaman masa lalu dan masalah pribadi di luar konseling kedalam konseling.(c) menyadari titik penyimpangan dan kelemahan yang dapat membantu mengenal situasi yang terkait dengan masalahm (d) tidak hanya mencapai kelestarian hidup, tetapi mencapai kehidupan dalam kondisi yang baik.
salah satu kendala yang timbul adalah konselor membiarkan ketakutan dan ketidakpuasan atas kehidupan pribadinya menjadi satu komunitas samara dalam konseling.
  1. Trustworthiness (Dapat Dipercaya)
Kualitas Ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien.Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
  1. Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya (curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa frustrasi lah yang menjadi hasil konseling.
  2. Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
  3. Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
  • Memiliki pribadi yang konsisten
  • Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya
  • Tidak pernah membuat orang lain (klien) kecewa atau kesal
  • Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak inkar janji, dan mau membantu secara penuh.
  1. Honesty (Jujur)
Yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu harus sejati dalam penampilannya, bersikap transparan (terbuka),  autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
  1. Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.
  2. Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
Konselor yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
  • Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya sendiri (real self) sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self).
  • Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
  1. Strength (Kekuatan)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk mengatasi masalahnya,  dan (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku berikut.
  • Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling.
  • Bersifat fleksibel
  • Memiliki identitas diri yang jelas.
  1. Warmth (Bersikap Hangat)
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah : ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor.Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
  1. Actives responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan  klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
  1. Patience (Sabar)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya.Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
  1. Sensitivity (kepekaan)
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri klien maupun dirinya sendiri.
Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi.Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah.Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah), sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah sebenarnya yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku berikut.
  • Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri
  • Mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (probing)
  • Mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya
  • Sensitif terhadap sifat-sifat mudah tersinggung dirinya.
  1. Holistic awareness (Kesadaran Holistik)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan.Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi : fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai barikut.
  • Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks
  • Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya referal (rujukan)
  • Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
KEARIFAN SEBAGAI SATU KUALITAS KEPRIBADIAN KONSELOR
            Dalam perkembangan terkini, disamping karakteristik sebagaimana telah dikemukakan, para pakar mengemukakan bahwa kearifan merupakan satu kualitas kepribadian konselor efektif.Beberapa tokoh yaitu Fred J.Hanna, Fred Bemak, dll.Hanna dan Ottnes menyatakan bahwa kualitas manusia termasuk kearifan merupakan gambaran konselor efektif, sebagai lawan dari konselor yang kurang efektif.Pengertian kearifan itu sendiri, yaitu dapat didefinisikan sebagai suatu perangkat kognitif dan afektif tertentu yang secara langsung terkait pada pemilikan dan perkembangan keterampilan dan pemahaman hidup yang diperlukan untuk kehidupan yang baik, pemenuhan penyesuaian yang efektif, dan tilikan terhadap hakikat diri, orang lain, lingkungan dan interaksi antar pribadi. Baltes dan smith (1990)   mendefinisikan kearifan sebagai ‘pengetahuan ahli’ dalam ‘paradigma hidup yang mendasar’ dan melibatkan ‘tilikan istimewa kedalam perkembangan manusia dan masalah – masalah hidup’ sebagaimana halnya ‘ keistimewaan timbangan yang baik’ dalam konteks perencanaan hidup, tinjuan hidup, dan manajemen hidup’.  Arlin (1990) melaporkan bahwa penerapan kearifan dalam pemecahan masalah sebagai kecakapan untuk mengidentifikasi pemecahan masalah secara benar dalam kerangka yang sempurna, sehingga pemecahan masalah tidak memunculkan masalah yang lebih banyak.
Evaluasi secara sederhana bisa dirujuk dari pendapat surya(2003) bahwa kualitas profesionalisme dirunjuk oleh lima unjuk kerja sebagai berikut :
  1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang standar ideal berdasarkan criteria ini jelas bahwa konselor yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar ideal. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada figure yang dipandang memliki standar ideal.
  2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi. Profesionalisme yang tinggi ditunjukan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudan ini dilakukan melalui berbagai cara seperti penampilan, cara berbicara, penggunaan bahasa, postur, sikap hidup sehari – hari, hubungan antar pribadi dan sebagainya.
  3. Mengejar kualitas dan cita – cita dalam profesi. Profesionalitas yang tinggi ditunjukan dengan adanya upaya untukl selalu mencapai kualitas dan cita – cita dalam profesi.
Tujuan layanan bimbingan ialah agar siswa dapat :
  1. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang.
  2. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki peserta didik secara optimal.
  3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya.
  4. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk :
  1. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya.
  2. Mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya,
  3. Mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut
  4. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri.
  5. Menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat.
  6. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya.
  7. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Dalam mewujudkan pribadi utuh, BK peduli terhadap pengembangan kemampuan nalar yang motekar atau kreatif untuk hidup baik dan benar. Upaya bimbingan dalam merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan seperti disebutkan terarah kepada upaya membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya, untuk memperhalus (refine), menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasi system nilai ke dalam perilaku mandiri. Dalam upaya semacam itu, BK amat mungkin menggunakan berbagai metode dan teknik psikologis, untuk memahami dan memfasilitasi perkembangan individu, akan tetapi tidak berarti bahwa BK adalah psikologi terapan, karena BK tetap bersandar terarah perkembangan manusia sesuai hakikat eksistensialitasnya. BK tidak cukup bertopang pada kaidah psikologis melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhllluk Allah Yang Maha Kuasa.
Perkembangan kemandirian terarah kepada penemuan makna diri dan dunia, dan pemaknaan itu akan beragam sesuai dengan denan persepsi manusia akan diri dan dunianya. Proses memaknai adalah proses selektif, ditentukan melalui proses memilih, dan karena itu bangu kehidupan setiap diri manusia akan berbeda. Dalam tataran pemaknaan yang lebih tinggi akan terjadi makna sinoptik atau trasendensi lingkungan, yang menggambarkan interaksi individu dengan dunianya tidak lagi dalam interaksi subyek-obyek, melainkan merupakan hubungan antar subyetivitas, yakni proses dialog dalam diri.
Proses memilih adalah proses menimbang berbagai alterbatif, sebuah proses reaktif atau implusif. Kemandirian berkembang melalui pengembangan kemampuan berpikir, kreativitas, imajinasi, yang akan membawa manusia kepada pemahaman tentang perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan.




Kepribadian seorang konselor merupakan faktor yang paling penting dalam konseling.  Seperti yang dinyatakan Perez, “temuan penelitian menunjukan bahwa pengalaman, orientasi teoritis yang digunakan bukanlah penentu utama efektivitas seorang terapis, akan tetapi kualitas pribadi konselor, bukan pendidik dan pelatihannyasebagai criteria dalam evaluasi  keefektifannya.”


Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik.Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan keterampilan bekerja secara seimbang dengan kepribadian yang berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling. Namun, ketika titik tumpu ini lemah, yaitu dalam keadaan kepribadian konselor tidak banyak membantu, maka penegetahuan dan keterampilan konselor tidak akan efektif digunakan, atau akan digunakan dalam cara – cara yang merusak. Kualitas kepribadian konselor, pengetahuan mengenai perilaku, dan keterampilan konseling, masing – masing tidak dapat saling menggantikan.Kepribadian yang baik tetapi dengan kekurangan pengetahuan dan keterampilan ibarat seorang supir yang mengendarai tidak aman.
Keyakinan bahwa kepribadian konselor merupakan kunci yang berpengaruh dalam hubungan konseling, Akan tetapi kepribadian konselor tidak dapat mengganti kekurangan pengetahuan tentang perilaku dan keterampilan terapeutik. Kualitas kepribadian tidak sama dengan proses perolehan pengetahuan tentang perilku dan keterampilan terapeutik. Kualitas kepribadian berkembang dari perpaduan yang terjadi terus menerus antara genetika, konstitusi, pengaruh lingkungan, dan cara – cara unik dalam memadukan semua itu sehingga menjadi pribadi yang khas.
            Pendidikan dan pelatihan lebih berpengaruh pada pertumbuhan secara kuantitaif  dari pada kualitatif, Atau dengan kata lain, Pendidikan dan pelatihan tidak banyak membantu orang untuk berembang menjadi dirinya sendiri. Dalam rangka menumbuh kembangkan karakter konselor professional menuju tradisi nilai untuk dinilai dibutuhkan tiga proses berkelanjutan, yaitu :
  1. Menggali nilai – nilai karakter konselorprofesional yang dibutuhkan.
  2. Implementasi tradisi nilai ke dalam proses pembelajaran
  3. Evaluasi Brand image : menuju tradisi nilai untuk dinilai.
Menumbuh-kembangkan karakter konselor professional merupakan upaya perjalanan budaya akademik dimana tradisi nilai yang dihidupkan menjadi pedoman atau pegangan bersama civitas akademik konseling didalam institusinya.
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator/psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi.Peran ini merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan keilmuan dan praktik profesional konselor sebagai layanan yang menunjukkan keunikan dan kebermaknaan tersendiri di dalam masyarakat (ABKIN, 2008).
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum.Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling (Permendiknas, nomor 27 tahun 2008).
Dalam konsep bimbingan dan konseling komprehensif, konselor akan dihadapkan kepada individu yang sedang menjalani tahap perkembangan tertentu dengan tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya. Karena itu, peran konselor dalam kegiatan bimbingan dan konseling tidak hanya membantu memecahkan masalah siswanya.
Selain itu konselor sekolah dilihat dari fungsi dan peranannya melalui penelitian Stinzi dan Hutcheon (Aisyah, 2006: 18) menunjukkan bahwa peranan konselor sekolah menurut harapan siswa adalah: (1) menjadi sumber informasi karir atau lowongan dan karir kerja, (2) terbuka untuk diskusi masalah pribadi-sosial, (3) tidak menjadi petugas disiplin (disiplinarian), namun terbuka untuk  konsultasi masalah-masalah disiplin,            (4) mengijinkan siswa untuk mengambil keputusan sendiri, (5) menjadi orang yang dapat dipercaya oleh siswa, (6) memberikan oreintasi kepada siswa baru, (7) mendorong terciptanya kebijakan yang terbuka.
Di antara kompetensi konselor, yang paling penting adalah kualitas pribadi konselor  karena konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secara utuh, tepat, dan berarti serta membangun hubungan antarpribadi (interpersonal)  yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif dan kreatif sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini, Corey (1986: 358-361), menyatakan “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (our self as a person). Pada bagian dari tulisannya itu, ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa “… para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri bisa meinaikkan tingkat kesadaran (self awarness)”konselor.
Brammer (1979: 4) mendeskripsikan kualifikasi konselor sekolah sebagai pribadi memiliki sifat-sifat dan sumber kepribadian seperti memiliki perhatian pada orang lain, bertanggung jawab, empati, sensitivitas dan sebagainnya. Menurut Furqon (2001) ditemukan bahwa konselor sekurang-kurangnya perlu memiliki tiga kompetensi, di samping perlu dukungan kondisi yang kontekstual dan lingkungan, yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti (core competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies).
Kompetensi pribadi (personal competencies) merujuk kepada kualitas pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membina hubungan baik antarpribadi (rapport) secara sehat, etos kerja dan komitmen profesional, landasan etik dan moral dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk mengembangkan diri, serta berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah.
Pribadi konselor merupakan ‘instrumen’ yang menentukan bagi adanya hasil yang positif dalam proses konseling. Kondisi ini akan didukung oleh keterampilan konselor mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan konselinya. Pemaduan secara harmonis dua instrumen ini (pribadi dan keterampilan) akan memperbesar peluang keberhasilan konselor.
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik dan terciptanya layanan bimbingan dan konseling secara efektif, sebagaimana adanya tuntutan profesi, konselor harus memiliki kualitas pribadi.Keberhasilan konseling lebih tergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan kecermatan teknik. Mengenai ini, Tyler (1969) menyatakan: “…success  in counseling depend more upon personal qualities than upon correct use of specified techniques”. Pribadi konselor yang amat penting mendukung efektivitas perannya adalah pribadi yang altuistis (rela berkorban) untuk kepentingan konseli.
Brammer juga mengakui adanya kesepakatan helper tentang pentingnya pribadi konselor sebagai alat yang mengefektifkan proses konseling, ia mengatakan: “A general dictum among people helpers says that if I want to become more affective I must begun with my self; own personalities thus the principal tools of the helping process…” ( Brammer, 1979: 25).
Kemudian Hobbs menyatakan bahwa: “idealnya sebagai seorang konselor adalah memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan profesionalnya”, Hanset, et.al. (Benyamin, 1995: 27).
Adapun yang dimaksud kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut segala aspek kepibadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika disbandingkan dengan pendidikan dan latihan yang diperolehnya (Willis, 2004: 79).
Allport (Blocher, 1974: 93-94) menggambarkan hakikat pribadi yang matang secara psikologis adalah sebagai berikut.
  1. Memiliki kesadaran yang cukup luas tentang diri sendiri dan orang lain. Maksudnya adalah memilki kasih sayang, mempunyai kecenderungan seks yang sehat, sadar akan kekuatan sendiri, namun juga mempunyai kesadaran untuk tunduk dan menghargai orang lain.
  2.  Hangat dalam hubungan dengan individu lain. Individu yang matang dapat menciptakan dan memelihara keintiman dan kecintaan terhadap orang lain. Hubungan antar pribadinya ditandai oleh empati dan keharuan.
  3. Emosi stabil. Kematangan emosional timbul dari penerimaan dirinya, dengan kematangan emosional seseorang dapat memelihara pandangan yang realistik dan melakukan pengawasan terhadap tata alur “sinyal-sinyal” perasaan.
  4. Realistik dalam persepsi, keterampilan, dan pekerjaan. Tiap individu yang matang dapat berfungsi secara efisien dalam wilayah persepsi dan kognisi, dalam arti memiliki perilaku intelektual yang realistik dan akurat. Di samping itu dapat memfokuskan energinya pada pekerjaan yang cocok dengan perkembangannya.
  5. Realistik terhadap diri dan wawasan. Individu yang matang dapat mengerti dirinya.
  6. Mempunyai kesatuan pendekatan mengenai kehidupan. Tiap individu yang matang mampu menyusun beberapa kesatuan pendekatan menghadapi kehidupan, sehingga memeberikan konsistensi dan arti bagi tingkah lakunya.
Konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secaran utuh, tepat, dan berarti serta mampu membangun hubungan antarpribadi(interpersonal) yang unik dan harmonis, dinamis, persuasif, dan kreatif, sehingga menjadi motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Corey (1986: 358-361) menyatakan bahwa “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (your self as a person).  Bahkan pada bagian lain dari tulisannya itu ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa:” …para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri dapat menaikkan tingkat kesadaran diri (self awareness)”.
  1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri
Pengetahuan diri sendiri (self knowledge) mempunyai makna bahwa konselor mengetahui secara baik tentang dirinya, apa yang dilakukan, mengapa melakukan itu, masalah yang dihadapi, dan masalah klien yang terkait dengan konseling. Pentingnya pengetahuan konselor tentang dirinya sendiri dengan alasan, pertama,  seorang konselor yang mengetahui persepsi dirinya dengan baik cenderung mengetahui persepsi diri klien yang sedang dibantu. Kedua, keterampilan konselor yang digunakan untuk memahami dirinya adalah keterampilan yang sama untuk memahami diri klien. Dengan demikian semakin besar kemampuan yang dimiliki, semakin besar pulakemungkinan untuk memahami klien.Ketiga,  konselor yang telah memiliki keterampilanyang digunakan untuk memahami diri sendiri memungkinkan konselor mengajarkan kepada klien. Keempat, pengetahuan diri sendiri memungkinkan konselor merasakan dan berkomunikasi secara baik dengan klien. Kualitas konselor yang tinggi, tingkat pengetahuannya terhadap diri sendiri, menunjukan karakteristik sebagai berikut :
  1. Menyadari Kebutuhannya. Sebagai konselor, harus mengenal bahwa mereka menyadari akan kebutuhan yang harus dicapai, seperti merasa penting, merasa dibutuhakan, memiliki kelebihan, terkendali, memiliki kekuasaan dan tegas.
  2. Menyadari Perasaannya. Perasaan terluka, takut, marah, bersalah, mencintai atau seks, menjadi bagian dari respon sebagai konselor dalam konseling. Kondisi perasaan itu akan banyak berpengaruh terhadap situasi hubungan konseling. Oleh karena itu, konselor harus menyadari dan mampu mngendalikannya selama konseling berlangsung.
  3. Menyadari apa yang membuat cemas selama konseling, dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi kecemasan. Dalam konseling sering terjadi serangan terhadap konselor yang dapat menimbulkan kecemasan seperti pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan, seksualitas, moral, nilai – nilai terapeutik, dsb. Konselor harus menyadari pertahanan yang dilakukan untuk menghindari kecemasan seperti : pasif atau dominan; berharap klien akan merasa bersalah dan menghentikan serangan; mengubah topic; segera menjadi nondirektif dan reflektif;mencaci;menyalahkan, atau menakut-nakuti.
  4. Menyadari kelebihan dan kekurangan diri. Kesadaran akan kelebihan dan kekurangan diri akan membantu konselor dalam mengefektifkan hubungan konseling. Dengan kelebihannya, konselor dapat meningkatkan wibawa dan pengaruhnya terhadap klien, sementara kesadaran akan kelemahan mendorong konselor untuk senantiasa memperbaiki diri.
Suatu hambatan yang sering terjadi dalam mewujudkan pengetahuan tentang diri sendiri adalah  konselor menggunakan pertahanan yang sama dilakukan oleh klien dalam melindungi diri sendiri dari ketepatan memandang dirinya dan pekerjaannya.
  1. Kompetensi
Kompetensi (competence) mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien.Kompetensi ini sangat penting bagi konselor, karena klien datang pada konseling untuk belajar dan mengembangkan potensi yang dibutuhkan untuk mencapai hidup yang lebih efektif dan bahagia.Peranan seorang konselor ialah untuk mengajarkan semua kompetensi ini kepada klien.Oleh karena itu maka banyak kompetensi yang dimiliki konselor, makin besar kemungkinan konselor dapat membantu klien baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memperoleh kompetensi hidup.
Hal yang mebedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah pada kompetensi konselor.  konselor yang efektif memiliki kombinasi kompetensi pengetahuan akademik, kualitas kepribadian, dan keterampilan membantu.
Seorang konselor yang senantiasa berusaha menjadi lebih kompeten memiliki ciri – ciri  : (a) secara berkelanjutan senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan tentang perilaku dan konseling antara lain melalui bacaan, menghindari konferensi atau seminar, mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan rekan sejawat, (b) senantiasa mencari – mencari pengalaman – pengalaman hidup yang baru yang dapat membantunya meningkatkan kompetensi dan mempertajam keterampilannya, (c) senantiasa mencoba berbagi gagasan dan pendekatan dalam konseling, (d) senantiasa melakukan penilaian dalam setiap langkah konseling untuk mencapai keefektifan konseling. Peningkatan kompetensi konselor sering terhambat oleh adanya mitos bahwa tingkatan akademik dan jumlah pengalaman akan secara otomatis meningkatkan kualitas seorang menjadi konselor yang efektif.
Unjuk kerja  konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh  sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
  1. Kompetensi Pedagogik
Konselor rehabilitasi disyaratkan memiliki kompetensi pedagogik, sebab konseling rehabilitasi tidak bisa dilakukan dengan melepaskan diri dari ilmu-ilmu  dan praktik pedagogik. Karena itu konselor rehabilitasi harus memiliki:
(1) penguasaan teori dan praktik pendidikan, seperti penguasaan (a) ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya, (b) implementasi prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran; serta (c) landasan budaya dalam praktik pendidikan.
(2) Konselor rehabilitasi harus memahami kaidah-kaidah perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku  konseli disabiliti, terutama berkaitan dengan kaidah-kaidah: (a) perilaku manusia pada umumnya, (b) perkembangan fisik dan psikologis individu, (c) kepribadian, (d) individualitas dan perbedaan konseli, (e) keberbakatan, (f) kesehatan mental dan (g) pembelajaran bagi konseli disabiliti;
(3) Konselor rehabilitasi harus menguasai esensi pelayanan konseling bagi konseli disabiliti dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan, baik pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal dan informal maupun pada satuan jenjang pendidikan  dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
  1. Kompetensi Kepribadian
Konselor adalah sosok yang harus mampu menampilkan diri sebagai pendidik, pengajar, penasihat, teman diskusi, bahkan menjadi lawan  berdebat  manakala konselinya menunjukkan kecenderungan berpikir yang irasional, tidak  kongruen antara pikiran dan perbuatan bahkan mungkin saat konseli tidak menunjukkan sebagai individu yang memiliki komitmen dan bertanggung jawab.
      Menteri Pendidikan Nasional, melalui Permendiknas nomor 27 tahun 2008 merinci kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor, yaitu sebagai berikut: (1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, di dalamnya terkandung: (a) menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain, (c) berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur; (2) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan, di dalamnya mengandung kemampuan konselor dalam: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi, (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya, (c) peduli terhadap kemaslahatan  manusia  pada umumnya dan konseli pada khususnya, (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya,(e) toleran terhadap permasalahan konseli, (f) bersikap demokratis;
(3) Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, yaitu dengan : (a) menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten),   (b) menampilkan emosi yang stabil, (c) peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan, (d) menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli   yang menghadapi stres dan frustrasi; (4) menampilkan kinerja berkualitas tinggi, seperti:           (a) menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif, (b) bersemangat, berdisiplin, dan mandiri, (c) berpenampilan menarik dan  menyenangkan, serta  (d) berkomunikasi secara efektif. 
  1. Kompetensi Sosial
Bagi seorang konselor rehabilitasi, kompetensi sosial tidak hanya merupakan dasar kemampuan untuk menjalin hubungan bantuan dengan konseli, akan tetapi bagi semua komponen yang memiliki keterkaitan dengan pekerjaan rehabilitasi dan kepentingan konseli serta lingkungannya. Artinya kompetensi sosial tidak hanya dibutuhkan untuk membangun hubungan bantuan dalam membuat rencana kehidupan konseli disabiliti tetapi diperlukan untuk mengembangkan jejaring dalam upaya meningkatkan efektivitas kinerjanya. Konselor yang memiliki kompetensi sosial dengan baik akan menunjukkan kemampuan: (1) kolaborasi intern di tempat bekerja, dengan (a) memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain dalam konseling rehabilitasi;  (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan konseling rehabilitasi kepada pihak-pihak lain, baik di tempat bekerja maupun kepada masyarakat luas; (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan konseling rehabilitasi (seperti pendidik, orang tua, dokter, psikolog, rokhaniawan, masyarakat, organisasi komunitas disabiliti dan organisasi profesi lain);
(2) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling. Dalam aspek ini konselor dituntut untuk: (a) memahami dasar, tujuan, anggaran dasar dan anggaran rumah atangga organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi, (b) mentaati kode etik profesi bimbingan dan konseling, (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi; (3) berkolaborasi dengan profesi lain, yaitu dalam: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain, (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling, (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain, dan  (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan.
  1. Kompetensi Profesional
          Konseling rehabilitasi bukan hanya pekerjaan teknis yang memerlukan penguasaan teknik dan keterampilan konseling, tetapi sebagai salah satu frame workbagi pengembangan pribadi individu baik konseli maupun konselor. Kuat tidaknya landasan filosofis yang memaknai manusia, landasan psikologis yang memberikan pemahaman terhadap keunikan manusia, landasan sosial budaya yang memberikan pemahaman tentang kultur, nilai dan moral individu dan kelompoknya, serta landasan religi yang memberikan pemahaman manusia tentang akidah serta nilai keagamaan yang dianutnya akan memberikan warna dan dampak yang sangat jelas dalam tujuan dan hasil konselingnya.
          Kompetensi profesional meliputi pemahaman dan penghayatan mendalam seorang konselor rehabilitasi mengenai  filsafat profesi atau kepakaran di bidang konseling rehabilitasi yang berkenaan dengan aspek religi, sosial budaya maupun aspek-aspek psikologisnya. Kompetensi ini hendaknya merupakan seperangkat perilaku nyata yang ditunjukkan oleh seorang konselor profesional dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan profesional atau keahliannya. Sebab tinggi dan rendahnya kualitas profesional seorang konselor akan berdampak langsung terhadap tinggi dan rendahnya pengakuan masyarakat luas dan imbalan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, seorang konselor profesional akan selalu  menjaga kualitas kinerja dan nama baik pribadi dan profesinya (Suherman AS, 2006).
  1. Kesehatan psikologis yang baik
Kesehatan psikologi yang baik akan mendasari pemahaman perilaku dan keterampilan dan pada gilirannya akan mengemabangkan satu daya yang positif dalam konseling. Karakteristik konselor yang memiliki kesehatan psikologis yang baik antara lain : (a) mencapai pemuasan kebutuhan seperti rasa aman, cinta memelihara, kekuatan, seksual, dan perhatian diluar hubungan konseling. (b) tidak membawa pengalaman masa lalu dan masalah pribadi di luar konseling kedalam konseling.(c) menyadari titik penyimpangan dan kelemahan yang dapat membantu mengenal situasi yang terkait dengan masalahm (d) tidak hanya mencapai kelestarian hidup, tetapi mencapai kehidupan dalam kondisi yang baik.
salah satu kendala yang timbul adalah konselor membiarkan ketakutan dan ketidakpuasan atas kehidupan pribadinya menjadi satu komunitas samara dalam konseling.
  1. Trustworthiness (Dapat Dipercaya)
Kualitas Ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien.Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
  1. Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya (curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa frustrasi lah yang menjadi hasil konseling.
  2. Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
  3. Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
  • Memiliki pribadi yang konsisten
  • Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya
  • Tidak pernah membuat orang lain (klien) kecewa atau kesal
  • Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak inkar janji, dan mau membantu secara penuh.
  1. Honesty (Jujur)
Yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu harus sejati dalam penampilannya, bersikap transparan (terbuka),  autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
  1. Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.
  2. Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
Konselor yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
  • Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya sendiri (real self) sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self).
  • Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
  1. Strength (Kekuatan)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong klien untuk mengatasi masalahnya,  dan (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku berikut.
  • Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling.
  • Bersifat fleksibel
  • Memiliki identitas diri yang jelas.
  1. Warmth (Bersikap Hangat)
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah : ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor.Apabila hal itu diperoleh, maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
  1. Actives responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan  klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
  1. Patience (Sabar)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya.Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
  1. Sensitivity (kepekaan)
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri klien maupun dirinya sendiri.
Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi.Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah.Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah), sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah sebenarnya yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku berikut.
  • Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri
  • Mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (probing)
  • Mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya
  • Sensitif terhadap sifat-sifat mudah tersinggung dirinya.
  1. Holistic awareness (Kesadaran Holistik)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan.Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi : fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai barikut.
  • Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks
  • Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan tentang perlunya referal (rujukan)
  • Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
KEARIFAN SEBAGAI SATU KUALITAS KEPRIBADIAN KONSELOR
            Dalam perkembangan terkini, disamping karakteristik sebagaimana telah dikemukakan, para pakar mengemukakan bahwa kearifan merupakan satu kualitas kepribadian konselor efektif.Beberapa tokoh yaitu Fred J.Hanna, Fred Bemak, dll.Hanna dan Ottnes menyatakan bahwa kualitas manusia termasuk kearifan merupakan gambaran konselor efektif, sebagai lawan dari konselor yang kurang efektif.Pengertian kearifan itu sendiri, yaitu dapat didefinisikan sebagai suatu perangkat kognitif dan afektif tertentu yang secara langsung terkait pada pemilikan dan perkembangan keterampilan dan pemahaman hidup yang diperlukan untuk kehidupan yang baik, pemenuhan penyesuaian yang efektif, dan tilikan terhadap hakikat diri, orang lain, lingkungan dan interaksi antar pribadi. Baltes dan smith (1990)   mendefinisikan kearifan sebagai ‘pengetahuan ahli’ dalam ‘paradigma hidup yang mendasar’ dan melibatkan ‘tilikan istimewa kedalam perkembangan manusia dan masalah – masalah hidup’ sebagaimana halnya ‘ keistimewaan timbangan yang baik’ dalam konteks perencanaan hidup, tinjuan hidup, dan manajemen hidup’.  Arlin (1990) melaporkan bahwa penerapan kearifan dalam pemecahan masalah sebagai kecakapan untuk mengidentifikasi pemecahan masalah secara benar dalam kerangka yang sempurna, sehingga pemecahan masalah tidak memunculkan masalah yang lebih banyak.
Evaluasi secara sederhana bisa dirujuk dari pendapat surya(2003) bahwa kualitas profesionalisme dirunjuk oleh lima unjuk kerja sebagai berikut :
  1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang standar ideal berdasarkan criteria ini jelas bahwa konselor yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar ideal. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada figure yang dipandang memliki standar ideal.
  2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi. Profesionalisme yang tinggi ditunjukan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudan ini dilakukan melalui berbagai cara seperti penampilan, cara berbicara, penggunaan bahasa, postur, sikap hidup sehari – hari, hubungan antar pribadi dan sebagainya.
  3. Mengejar kualitas dan cita – cita dalam profesi. Profesionalitas yang tinggi ditunjukan dengan adanya upaya untukl selalu mencapai kualitas dan cita – cita dalam profesi.
Tujuan layanan bimbingan ialah agar siswa dapat :
  1. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang.
  2. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki peserta didik secara optimal.
  3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya.
  4. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk :
  1. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya.
  2. Mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya,
  3. Mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut
  4. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri.
  5. Menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat.
  6. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya.
  7. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Dalam mewujudkan pribadi utuh, BK peduli terhadap pengembangan kemampuan nalar yang motekar atau kreatif untuk hidup baik dan benar. Upaya bimbingan dalam merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan seperti disebutkan terarah kepada upaya membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya, untuk memperhalus (refine), menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasi system nilai ke dalam perilaku mandiri. Dalam upaya semacam itu, BK amat mungkin menggunakan berbagai metode dan teknik psikologis, untuk memahami dan memfasilitasi perkembangan individu, akan tetapi tidak berarti bahwa BK adalah psikologi terapan, karena BK tetap bersandar terarah perkembangan manusia sesuai hakikat eksistensialitasnya. BK tidak cukup bertopang pada kaidah psikologis melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhllluk Allah Yang Maha Kuasa.
Perkembangan kemandirian terarah kepada penemuan makna diri dan dunia, dan pemaknaan itu akan beragam sesuai dengan denan persepsi manusia akan diri dan dunianya. Proses memaknai adalah proses selektif, ditentukan melalui proses memilih, dan karena itu bangu kehidupan setiap diri manusia akan berbeda. Dalam tataran pemaknaan yang lebih tinggi akan terjadi makna sinoptik atau trasendensi lingkungan, yang menggambarkan interaksi individu dengan dunianya tidak lagi dalam interaksi subyek-obyek, melainkan merupakan hubungan antar subyetivitas, yakni proses dialog dalam diri.
Proses memilih adalah proses menimbang berbagai alterbatif, sebuah proses reaktif atau implusif. Kemandirian berkembang melalui pengembangan kemampuan berpikir, kreativitas, imajinasi, yang akan membawa manusia kepada pemahaman tentang perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan.



Share :

Facebook Twitter Google+

My Blog List

Popular Posts

Powered By Blogger